USM7uKzrSsmCaVoTHNCgNHTLw5k8mZOpxmzx7nna
Bookmark

PERANG SAPURAGA

  

Oleh: Ustad Suryo Sumbawa

(Laporan Resmi Jenderal Swart, Pemimpin Operasi Militer Belanda Di Taliwang Tahun 1908. Jenderal Swart terkenal dengan julukan sang penakluk Aceh. Setelah sukses menaklukkan Aceh, Jenderal Swart memimpin ekspedisi militer Belanda untuk meredam pemberontakan di berbagai daerah di Nusantara. Di berbagai daerah terjadi gejolak akibat kebijakan Belanda yang akan melakukan sensus penduduk. Sensus penduduk adalah cara pemerintah Belanda mengetahui jumlah cacah jiwa sebagai tax payer. Belanda kala itu akan menerapkan pajak kepala kepada seluruh penduduk. Di Pulau Sumbawa kebijakan sensus itu melahirkan perlawanan di Taliwang yang kemudian terkenal dengan perang Sapugara dan di Bima yang kemudian dikenal dengan perang Ngali). 

Diterjemah oleh: Poetra Adi Soerjo

*Operasi militer di Taliwang*

Penaklukan Bima berhasil diwujudkan dalam 2 bulan — kini tersisa wilayah Taliwang, yang terletak di kesultanan Sumbawa di bagian barat pulau, di mana seorang bernama La Oenroe Sinrang memimpin perlawanan bersenjata.


Pada 17 Maret, Swart naik kapal bersama pasukannya dan mendarat keesokan harinya di Labuhan Balat, pelabuhan Taliwang yang berhadapan dengan Lombok.

Laporan Swart menyebutkan hal berikut:

Berita-berita yang diterima selama masa tinggal di Taliwang memberikan kepastian bahwa jalan-jalan yang menuju ke arah Benteng kampung Sapugara, tempat kediaman pemberontak La Oenroe, dipenuhi rintangan dan dijaga oleh orang-orang bersenjata. Pada jalan yang paling umum digunakan, yang melewati sebuah ngarai, di bagian itu telah dipasang barikade dari pohon-pohon yang ditebang, sementara sebuah jembatan kayu sepanjang ± 20 meter, di atas anak sungai Taliwang, di sebelah ngarai terdapat sebuah pos penjagaan yang secara berganti terus dijaga oleh setidaknya 20 orang.

Kampung Tamekan, yang terletak di sisi ngarai ini, juga dijaga secara berat. Hanya di jalan setapak sepanjang tepi kanan sungai yang kosong dari penjagaan. Untuk melalui jalur yang berjarak kurang lebih ¾ jam dari Sapugara tersebut harus dilakukan dengan menyeberangi sungai. Namun fakta di lapangan jalur itu sangat sulit ditembus, karena menurut penduduk di sungai ada banyak buaya yang berkeliaran hingga ke tepian sungai.

Sapugara sendiri, dalam beberapa hari terakhir, telah diperkuat dengan penjagaan yang sangat ketat. Sekitar lima buah lila (meriam kecil) dipasang di sisi barat pinggiran kampung. Jumlah para pasukan Oenroe di situ diperkirakan sekitar ± 600 orang, sebagian besar di antaranya dilaporkan memiliki senapan api.

Berdasarkan keterangan tersebut, saya menyebarkan kabar bahwa esok paginya kolone akan maju melalui ngarai menuju Sapugara, sementara pada malam harinya perintah diberikan agar pada pukul 1 dini hari, dengan penuh kesunyian, seluruh kolone menerobos dan bergerak ke arah selatan dari perkemahan, menyeberangi sungai di tepi kanan.

Memang maksud saya adalah untuk bergerak pada malam hari melalui jalan setapak yang tidak dipenuhi rintangan, sehingga ngarai yang dimaksud bisa dilampaui, kemudian — tanpa peduli pada buaya — kembali menyeberangi sungai, merebut jembatan yang dijaga lewat serangan mendadak, menguasainya, dan dengan demikian pada pagi hari bisa menyerang Sapugara. Hal ini sekaligus juga dapat mencegah para penduduk dari kampung-kampung sekitarnya datang membantu para pembela kampung Sapugara tepat pada waktunya. (Lihat sketsa D).

Sesuai dengan perintah yang diberikan, berbagai satuan pada jam yang ditentukan menyeberangi sungai. Hal itu tidak menimbulkan kesulitan yang berarti, karena tinggi air hanya sekitar ± 1 meter dan arusnya tidak deras. Setelah mencapai seberang, perjalanan dilanjutkan dalam urutan mars sebagai berikut: 1 Brigade Marsose, termasuk pasukan zeni. 3 Brigade Marsose, senjata kanon cepat, divisi marinir, ambulans dan artileri dan 1 Grup Infanteri. 

Pada mulanya, perjalanan melalui daerah tertutup, terletak di antara tepi sungai dan perbukitan, kemudian melintasi sawah-sawah basah, yang sebagian dapat dilewati. Terutama pada bagian terakhir ini, kemajuan diperoleh dengan sangat hati-hati, karena terlihat ada cahaya di rumah-rumah, yang di sana-sini tersebar di sepanjang tepi sawah yang berlawanan.

Tanpa terdeteksi oleh musuh, penyeberangan sungai yang kedua dicapai pada pukul 3 ¾ pagi. Penyeberangan ini dilakukan secepat mungkin, meskipun ketinggian air mencapai ± 1,50 meter, arus deras, serta tepi kiri sungai yang curam dan licin menjadi hambatan yang cukup berarti. Selain itu, jalan setapak di tepi kiri yang menuju ke atas terhalang, sehingga rintangan itu harus disingkirkan terlebih dahulu.

Segera setelah pasukan berkumpul di tepi kiri, Letnan Minderman diperintahkan, dengan 3 brigade Marsose, untuk menduduki jembatan yang terletak di belakang kolone, di ujung jalur sempit (défilé – lihat sketsa), dan bila mungkin menyergap pos penjaga di sana.

Satuan ini menemukan tempat itu kosong, kemudian mengambil posisi dan menutup jalur penyeberangan. Para penjaga pos tersebut rupanya baru saja meninggalkan tempat karena di dekat jembatan masih ditemukan api unggun yang masih berasap.

Beberapa waktu kemudian, beberapa orang dari pos penjagaan itu muncul kembali dari sebuah rumah terdekat dan hendak kembali ke pos mereka, masih belum sadar akan apa yang terjadi selama ketidakhadiran mereka. Mereka disambut dengan beberapa tembakan salvo, yang — sebagaimana kemudian terbukti — menewaskan empat orang musuh secara fatal.

Tembakan ini menimbulkan kebingungan di antara para kuli pengangkut yang bersama kolone masih berada di titik penyeberangan. Beberapa dari mereka mencoba melarikan diri, meloncat ke sungai, dan sebelum sempat berhenti akibat tembakan terbuka dari belakang, beberapa orang sudah tewas.

Karena untuk operasi terhadap Sapugara bagian Marsose tidak dapat dilepaskan, maka pada saat fajar tiga brigade yang ditugaskan untuk itu diganti dengan divisi pendarat dan satu grup infanteri, di bawah komando Letnan Laut Pieren. Selain itu, kereta logistik dan ambulans dari Marinir ditinggalkan, sementara Komandan diperintahkan untuk mencegah agar selama serangan terhadap Sapugara para pengikut La Oenroe, yang berada di sisi lain ngarai dan di kampung-kampung sekitarnya, tidak bisa bergabung dengan mereka.

Pukul 9 pagi, pasukan lainnya kemudian maju perlahan dalam formasi mars. Kabut tebal yang menutupi pandangan memperlambat gerakan. Setelah menempuh beberapa jarak, tiba-tiba terdengar di garis depan dua tembakan meriam lila, disusul dengan tembakan senapan beruntun yang deras dari arah medan di sisi itu, yang ditumbuhi semak belukar tinggi dan juga rumpun besar bambu.

Sejauh yang dapat dipastikan, musuh menempatkan diri mereka di tepi hutan lebat tersebut; sayap kanannya menempel ke sungai, sementara sayap kirinya terbentang di atas lahan sawah terbuka.

Segera dikeluarkan perintah agar kolone membentuk formasi tempur dan membalas tembakan musuh. Di garis depan maju tiga brigade Marsose, yang berbaris menuju ke sana, dengan kanon 3,7 Sn. ditempatkan di sayap kiri. Brigade ke-4 mengambil posisi sekitar ± 100 meter di belakang garis depan, sementara brigade ke-5 mengikuti sebagai cadangan. Di antara kedua brigade ini ditempatkan artileri perlengkapan tempur dan ambulans.

Setelah tembakan musuh mereda, seluruh pasukan bergerak maju ke arah dari mana tembakan lila tadi berasal. Meriam-meriam, dari mana tembakan itu dilepaskan, jatuh ke tangan kami tidak lama kemudian. Musuh, yang di sana meninggalkan beberapa korban tewas, tampaknya tidak memiliki cukup waktu untuk membawa senjata mereka ke tempat aman.

Untuk mengurangi kemungkinan serangan mendadak dengan klewang, diperintahkan agar perlahan meninggalkan daerah tertutup itu dan menuju ke sawah kering. Begitu dataran sawah dicapai, tampaklah rumah-rumah kampung Pondjok, dan dari tepi kampung itu terdengar tembakan senapan. Rupanya musuh telah memindahkan diri ke tempat itu, meninggalkan posisi pertamanya.

Sementara itu dari kolone kami menderita dua korban luka, di antaranya seorang pelaut yang bertugas mengoperasikan kanon 3,7 Sn. (ringan).

Setelah menjawab tembakan musuh selama beberapa waktu, brigade-brigade garis depan maju menyerang kampung itu, yang kemudian ditinggalkan oleh musuh.

Pada saat itu kabut telah terangkat dan terlihat bahwa sekitar ± 250 meter di sebelah utara Pondjok terdapat kampung berbenteng bernama Beroe, dari tepi kampung itu sesekali ditembakkan senjata api. Juga sekitar ± 1000 meter di sebelah timur posisi kami, di balik pepohonan, tampak beberapa rumah dari kampung Sapugara.

Ketiga brigade di bawah Kapten Siebelhoff, pasukan yang telah menduduki kampung Pondjok menerima perintah untuk maju menyerang Beroe, menyisir kampung itu serta menduduki sisi utara dan timurnya. Gerakan ini, yang membawa pasukan mendekati tepi sungai, dilakukan dengan cepat, dan pada saat yang sama jalan utama antara Beroe dan Sapugara berhasil dikuasai. Sementara itu, dua brigade lainnya bersama meriam cepat menempatkan diri di sawah kering di sebelah selatan Beroe.

Untuk mempersiapkan serangan terhadap Sapugara, meriam cepat ditempatkan pada jarak sekitar ± 700 meter di sebelah barat daya kampung itu, di sebuah tanggul, sehingga memiliki bidang tembak yang baik. Pada pukul 7.45 pagi, tembakan dibuka dari posisi itu dan berlangsung beberapa waktu.

Ketika saya berdiri dekat posisi artileri tersebut, dan melihat bahwa tembakan memberi pengaruh, saya memberikan perintah kepada Kapten Siebelhoff bersama tiga brigadenya untuk maju menyerang sisi barat Sapugara, mengikuti tepi sungai. Selain itu ditetapkan bahwa kolone penyerangan, selama mungkin, akan didukung oleh tembakan dari pasukan lainnya dan meriam cepat, dan kemudian menyerang sudut tenggara kampung itu.

Di bawah tembakan musuh yang terus-menerus, yang dilepaskan dari rumpun bambu dan semak belukar, brigade-brigade di bawah Kapten Siebelhoff maju perlahan dalam formasi garis lebar, dengan sayap kiri menempel ke sungai. Semakin dekat mereka ke kampung, semakin deras pula tembakan musuh. Akibatnya, satu kopral Eropa (petugas medis) dan dua Marsose Ambon terluka satu per satu.

Brigade lainnya dan meriam cepat sementara itu terus maju, sesekali menembak untuk menahan musuh yang tampak di sawah barat kampung. Upaya musuh untuk melakukan serangan balik juga berhasil digagalkan dengan tembakan.

Begitu pohon-pohon kelapa yang berdiri di dekat rumah La Oenroe terlihat, meriam cepat kembali ditempatkan, dan bagian kampung itu ditembaki dengan gencar. Kapten Siebelhoff, yang saat itu telah maju hingga ke dekat pagar kayu setinggi 3 meter yang mengelilingi Sapugara, segera memerintahkan penyerbuan. Serangan ini dilakukan dengan penuh semangat oleh 2½ brigade, sementara ½ brigade lainnya tinggal di belakang untuk melindungi para korban luka.

Musuh, yang berjajar di luar kampung, pada awalnya mencoba bertahan dan berusaha mengumpulkan kekuatan, tetapi gerakan maju pasukan penyerang yang tak terhentikan membuat mereka tercerai-berai ke segala arah. Segera sebuah celah berhasil dibuat di pagar kayu, melalui celah itu pasukan menerobos masuk ke kampung berbenteng tersebut. Para pembela pun melarikan diri melalui banyak pintu gerbang di sisi utara dan timur kampung. Dalam pengejaran, beberapa di antara mereka berhasil dilumpuhkan.

Begitu di sawah terdengar sorak kemenangan dari brigade penyerang, saya bersama pasukan yang ada di sana bergerak menuju sisi tenggara kampung. Meriam cepat juga mengikuti gerakan ini.

Musuh, yang melarikan diri ke sisi lain kampung, berusaha kembali masuk ke dalamnya, tetapi begitu melihat pasukan kami sudah berada di dalam, mereka mundur dan dikejar oleh satu brigade. Bersama brigade lainnya saya menuju rumah La Oenroe, yang — sebagaimana sudah diperkirakan — ternyata kosong dan telah ditinggalkan.

Setelah di titik ini mobil logistik, ambulans, dan tiga brigade berhasil dihimpun, dua satuan diperintahkan untuk terus menyisir kampung, sementara dua brigade lainnya ditempatkan di tepi timur Sapugara dengan tugas untuk mengawasi kampung Beroe dan berpatroli di daerah antara kedua kampung itu. Dalam kesempatan ini, beberapa musuh bersenjata masih ditemui; mereka yang melawan ditembak dan dilumpuhkan.

Setelah daerah sekitar dan kampung Beroe diperiksa, kolone dikumpulkan dan beristirahat di kampung Sapugara. Juga detasemen yang sebelumnya ditempatkan di jembatan mulut ngarai bergerak menyeberangi sawah menuju Sapugara. Pasukan ini, selama menjaga jembatan itu, sempat mendapat beberapa tembakan dari hutan lebat di samping ngarai, sehingga seorang pembantu perwira tewas tertembak.

Musuh pada hari itu meninggalkan 43 mayat, termasuk 6 kepala (pemimpin). Di antara yang tewas disebut juga seorang bernama Dea Busing, yang dikenal sebagai tangan kanan La Oenroe. Pihak lawan juga menderita banyak luka-luka, sekitar 30 orang di antaranya pada hari-hari berikutnya datang mencari perawatan ke bivak di Taliwang.

Di pihak kita, yang terluka parah ada 4 Marsose Ambon, sementara yang luka ringan seorang kopral perawat Eropa dan seorang pelaut. Seorang pembantu perwira juga terluka parah hingga membahayakan nyawanya. Sebagai rampasan diperoleh 4 meriam belakang, 6 meriam depan, 5 lila, serta sejumlah besar amunisi dan senjata tajam.

Dengan serangan Marsose atas Sapugara, yang dilakukan tanpa ragu-ragu dan dijalankan tanpa henti, pukulan besar telah dijatuhkan; namun La Oenroe sendiri masih harus ditaklukkan. Ia, hanya ditemani sejumlah kecil pengikut, mereka telah melarikan diri ke arah utara dan berlindung di kampung Moteng atau sekitarnya.

Tiga brigade Marsose di bawah Siebelhoff pada malam 20 ke 21 Maret melakukan percobaan serangan mendadak.

Laporan menyebutkan sebagai berikut:

Tepat pukul 12 malam, keberangkatan dilakukan dalam kesunyian penuh. Hanya para pengusung tandu yang dibawa serta, bersama seorang juru rawat dan seorang prajurit perawat, seorang perawat militer dan 3 prajurit zeni dengan bahan peledak.

Setelah menyeberangi Sungai Taliwang, pasukan berbaris melalui sebuah jalan yang cukup baik, terutama ke arah timur laut, menuju kampung Sloto, yang dicapai pada pukul 3½ pagi. Di sana pasukan berhenti sejenak dan kepala kampung dipanggil untuk ikut serta sebagai penunjuk jalan ke Moteng.

Jalan dari Sloto ke Moteng melewati sebuah pegunungan yang ditutupi hutan lebat. Meskipun bulan bersinar terang, di dalam hutan rapat itu tidak ada cahaya, sehingga harus naik turun dengan sangat hati-hati. Sekitar pukul 5½ pagi pada tanggal 21 Maret sampailah mereka di dataran, tempat Moteng berada di selatan perbukitan itu. Dengan langkah hati-hati, Moteng berhasil didekati dan pada pukul 6 pagi kampung itu ditembus dengan serbuan cepat.

Delapan rumah yang ada segera dikepung, sementara satuan-satuan kecil ditempatkan di sisi barat kampung. Dari salah satu rumah, seorang pria bersenjata melompat keluar dan hendak melepaskan tembakan, tetapi segera ditembak mati oleh Marsose yang berjaga. Dari sebuah rumah lain terdengar suara-suara. Untuk mencoba menangkap mereka, saya memerintahkan pemandu yang bersama saya untuk masuk, dengan instruksi agar membawa keluar para penghuni tanpa senjata.

Para pemandu masuk ke rumah itu, tetapi segera meloncat kembali keluar karena orang-orang di dalam mengarahkan senjata kepada mereka. Dua orang dari dalam rumah mencoba melarikan diri dengan senjata, turun melalui lantai, tetapi keduanya ditembak mati oleh Marsose yang berjaga. Dua orang lainnya juga tewas oleh tembakan kami di dalam rumah itu. Rumah-rumah lainnya, setelah diperiksa, ternyata kosong.

Secara keseluruhan, jatuh ke tangan kita 5 mayat, bersama 1 senjata belakang dan 4 senjata depan. Mereka yang tewas semuanya dikenali sebagai pengikut La Oenroe. Ia sendiri tidak ditemukan. Kemungkinan besar itu hanyalah salah satu tempat persembunyian yang telah disiapkannya.

Kepala kampung Sloto telah menyampaikan bahwa menurut kabar, La Oenroe telah melarikan diri ke arah kampung Bangkat Monte yang terletak lebih ke timur, bahkan mungkin ke kampung-kampung pegunungan Rarak.

Segera pasukan bergerak maju, dan pada pukul 8½ pagi Bangkat Monte dicapai dan dimasuki. Penduduknya sebagian besar telah melarikan diri, hanya beberapa orang laki-laki tanpa senjata muncul dan, setelah sedikit ragu, menyatakan bahwa La Oenroe memang benar-benar berada di sana sehari sebelumnya. Namun, ia telah melanjutkan pelariannya, terutama bersama para perempuan dan anak-anak, hanya beberapa orang yang bersenjata senapan, menuju kompleks pegunungan Rarak.

Diputuskan untuk segera melanjutkan pengejaran tanpa berhenti, dan pada pukul 9 pagi pasukan bergerak menuju arah Rarak. Sebagaimana kemudian terbukti, kompleks Rarak terdiri dari dua kampung, yaitu Rarak dan Ronges; di kampung yang terakhir inilah keluarga La Oenroe dikabarkan berada.

Jalan dari Bangkat Monte (kampung terakhir di dataran) menuju Rarak di daerah pegunungan melewati lereng curam, dengan jalan setapak yang menanjak ± 3 jam, namun tanpa hambatan yang berarti. Dataran tinggi pegunungan itu, juga lereng-lerengnya, ditutupi hutan lebat, sehingga dari atas tidak mungkin melihat ke arah dataran.

Ketika kolone mendaki gunung melalui jalur setapak, mereka bertemu beberapa orang yang hanya bersenjatakan tombak (brigade terdepan diperintahkan untuk tidak menembak). Mereka dilucuti dan menyatakan bahwa La Oenroe memang masih berada di Rarak.

Sekitar pukul 12 siang, ketika puncak hampir dicapai dan pasukan — yang telah 12 jam mendaki melalui jalur curam dan sangat letih — sedang beristirahat, tiba-tiba terdengar suara kapak di atas kepala mereka serta suara pohon-pohon tumbang.

Dengan sangat berhati-hati pendakian dilanjutkan, dan kini kami melihat bahwa orang-orang sedang memperkuat serta memblokade puncak gunung. Bertindak cepat di sini menjadi suatu keharusan yang mutlak. Segera tiga brigade diperintahkan untuk menyerang, dan meskipun sangat kelelahan, para Marsose menyerbu naik ke atas.

Di sana tampak kerumunan besar orang yang sedang membuat barikade, sebagian kecil bersenjata senapan, namun kebanyakan hanya membawa senjata tajam. Dengan susah payah barikade yang setengah jadi itu berhasil ditembus, dan enam orang musuh berhasil dilumpuhkan; sebagai rampasan didapat 1 senjata belakang, 1 senjata depan, serta senjata tajam. Sisanya melarikan diri ke dalam hutan lebat, berpencar ke segala arah.

Ketika brigade-brigade sudah berkumpul kembali, dilaporkan kepada saya bahwa ada seorang dengan sonko (hiasan kepala) berikat emas yang terluka. Ini tidak mungkin orang lain selain La Oenroe.

Segera saya memerintahkan satu brigade mengikuti jejak darah yang jelas terlihat, yang di beberapa tempat juga menunjukkan bercak darah tambahan. Setelah satu jam, brigade itu kembali; jejaknya terputus, kemungkinan besar karena si terluka telah dibawa pergi.

Karena banyak orang melarikan diri ke arah Rarak, pencarian segera diarahkan ke sana; dua kampung Rarak dan kampung belakang Ronges diperiksa. Semua kampung sudah sepenuhnya ditinggalkan. Di Ronges masih ditemukan kuda milik La Oenroe.

Penyelidikan lebih lanjut di sekitar wilayah itu tidak menghasilkan apa-apa, dan pada pukul 3 sore, setelah brigade-brigade beraksi tanpa henti selama 15 jam, bivak didirikan di Ronges dan kesempatan diberikan untuk menyiapkan makanan.

Pengejaran terhadap La Oenroe kini tetap menjadi tujuan dari Marsose; ada laporan bahwa ia memang terluka dalam serangan itu dan keluarganya ikut bersamanya melarikan diri ke dalam hutan pegunungan. Beberapa pengikut berhasil ditangkap, mereka membawa botol kecil berisi minyak suci yang diyakini dapat melindungi mereka dari peluru kami. Semakin banyak pula penduduk yang melarikan diri mulai menyerahkan diri; 26 meriam kecil dan lebih dari 100 senapan telah diserahkan. Dokter van Haeften kini setiap hari sudah mengelola sebuah poliklinik yang sangat ramai dikunjungi; Siebelhoff berangkat untuk mengambil cuti ke Eropa, tetapi La Oenroe tetap tidak dapat ditemukan.

Dan laporan mencatat sebagai berikut:

Sementara itu, berdasarkan berbagai laporan yang masuk, saya semakin yakin bahwa La Oenroe yang melarikan diri sedang dicari di arah lain. Karena itu saya memutuskan untuk secara pribadi mengambil alih pimpinan pengejaran terhadap kepala perampok itu. Untuk operasi ini saya menyiapkan tambahan 2 brigade Marsose, sementara di Taliwang akan ditinggalkan 1 brigade Marsose, 1 kelompok infanteri, divisi pendaratan serta meriam cepat, di bawah komando Letnan Laut Manikus. Perwira ini diperintahkan untuk setiap hari melakukan patroli kecil di sekitar Taliwang, menjaga ketertiban, sekaligus memetakan dan mengukur wilayah tersebut.

Menjelang keberangkatan pada 1 April, sebagian penduduk dari Sapugara melaporkan diri, menyerahkan antara lain sebuah senjata belakang. Pasukan kemudian bergerak melalui kampung Salit I dan Salit II, lalu mengikuti jejak kaki ke arah timur dan timur laut, menembus pegunungan. Sekitar pukul 2 siang titik tertinggi berhasil dicapai, kemudian menuruni kembali hingga ke dataran, dan pada pukul 4½ sore sampai di sebuah sungai besar.

Pemandu yang ikut serta kemudian mengaku bahwa ia tidak lagi mengetahui jalan menuju tujuan akhir perjalanan — kampung Limontet. Sebuah patroli yang dikirim ke depan berhasil menangkap dua orang bersenjata, yang kemudian memberi tahu bahwa mereka berada di tepi anak sungai Brang Rhea dan hanya berjarak setengah jam perjalanan dari Bangkat Monte. Karena sikap mereka yang penuh ketakutan menimbulkan kecurigaan, saya memerintahkan agar keduanya diikat.

Akibat hujan lebat yang turun sepanjang hari, permukaan air sungai naik begitu tinggi sehingga kami tidak berhasil menyeberanginya. Karena itu, bivak didirikan di tempat tersebut.

Pada malam hari air mulai surut begitu banyak sehingga penyeberangan keesokan paginya dapat dilakukan tanpa kesulitan. Pukul 7 pagi kampung Bangkat Monte sudah dicapai kembali, dan segera Letnan Minderman diperintahkan untuk bergerak dengan pasukannya menuju Limontet. Perjalanan kemudian dilanjutkan, dan setelah tiba di Limontet segera diatur agar 4 patroli, masing-masing beranggotakan 10 senapan karabin, secara bergiliran selalu berada di lapangan. Mereka diperintahkan untuk tetap berhubungan satu sama lain sebisa mungkin.

Dari Letnan Minderman diperoleh kabar bahwa pada 29 Maret beberapa pengikut La Oenroe telah ditangkap. Mereka memberitahu bahwa sang kepala perlawanan telah melarikan diri ke arah timur laut dan berlindung di Kadok, di daerah pegunungan di timur laut Rarak dan Ronges. Rupanya maksud perwira tersebut adalah untuk mengacaukan jejak si buronan, sebab ekspedisi yang dilakukan pada 29 dan 30 Maret ke Kadok tidak menghasilkan apa pun.

Dalam dua hari berikutnya, di hutan sebelah timur Ronges, ditemukan beberapa tempat persembunyian yang ditinggalkan serta beberapa pengikut La Oenroe berhasil ditangkap. Dari mereka diperoleh 1 senjata belakang, 1 senjata depan, sejumlah amunisi, dan senjata tajam.

Saat konfrontasi di bivak Limontet dengan dua orang yang saya tangkap pada 1 April serta orang-orang yang ditangkap oleh Letnan Minderman, segera diketahui bahwa yang termuda dari kedua orang pertama itu adalah anak La Oenroe sendiri, ipar Oenroe bernama Bedil dan seorang pemimpin tertua dari kelompok itu. Yang terakhir ini dengan keras kepala menolak memberikan keterangan, sedangkan yang termuda segera mengaku bahwa ketika ia ditangkap, ia sedang dikirim untuk mencari bahan makanan, dan bahwa La Oenroe bersama keluarga serta kerabatnya telah menempati sebuah tempat persembunyian di Brang Sir, sebuah anak sungai dari Brang Rhea, di mana mereka kekurangan bahan pangan. Walaupun tahanan ini tidak begitu mengenal daerah itu, ia yakin masih bisa menunjukkan tempat persembunyian tersebut. Ia hanya memohon agar pasukan mau menyelamatkan orang tuanya dan saudara perempuannya yang juga berada di sana.

Berdasarkan keterangan ini, saya memerintahkan Letnan Minderman pada pukul 4 sore berangkat dengan 15 orang Marsose pilihan untuk mencoba menyerbu tempat persembunyian itu. Pasukan ini kembali pada 4 April 1908 pukul 10 pagi. Setelah mars yang amat melelahkan, pada pukul 11 pagi (3 April) tempat persembunyian itu berhasil dicapai dan dikepung. Semua yang ada di sana — termasuk istri La Oenroe dengan 3 anaknya serta iparnya beserta keluarga, seluruhnya 13 orang — ditangkap. Sang pemimpin sendiri sekali lagi tidak ditemukan.

Pencarian lebih lanjut di daerah itu, untuk menemukan jejak para buronan, tidak berhasil karena tanahnya berbatu sehingga tidak meninggalkan jejak kaki. Rampasan yang diperoleh: 2 senapan Beaumont lengkap dengan amunisi, 2 tombak, dan 1 keris, serta barang-barang pribadi La Oenroe.

Karena istri La Oenroe meyakinkan saya bahwa suaminya sudah tidak memiliki pengikut lagi, saya memerintahkan laki-laki dari kampung Bangkat Monte untuk mencari jejak persembunyian La Oenroe, menangkapnya, dan menyerahkannya. Pada hari yang sama, diserahkan ke Limontet sebuah senapan Beaumont, 1 senjata depan, 2 kaleng mesiu, dan sebuah kotak berisi uang serta perhiasan — seluruhnya milik La Oenroe.

Pada 7 April, La Oenroe masih belum berhasil ditemukan. Namun saya yakin bahwa ia akan segera ditangkap dan diserahkan oleh penduduk, karena penduduk sudah mulai lelah dengan peperangan sehingga tidak mau lagi memberi dukungan. Maka pada 8 April saya kembali ke Taliwang, terutama juga karena kunjungan pribadi ke Djaréwé dianggap mutlak perlu. Tiga brigade Marsose mengikuti saya ke Taliwang, sementara satu brigade lainnya dikirim melalui Matayang ke Pusu, untuk mencegah La Oenroe melarikan diri ke sana.

Di Taliwang pada 9 April, dua kepala bawahan penting La Oenroe menyerahkan diri, sementara penduduk Alas menangkap seorang ipar dari La Oenroe bernama Deng Rea, dan menyerahkannya kepada kami. Selain itu, sejak 24 Maret telah diserahkan: 6 senapan Beaumont, 6 senjata belakang lainnya, 182 senjata depan, 9 revolver, serta banyak senjata tajam dan amunisi.

Penduduk yang sebelumnya ikut serta dalam perlawanan kini sudah kembali ke kampung-kampung mereka, memohon ampun, dan diberi pengampunan. Hanya di Sapugara dan Beroe saja yang penduduknya masih absen.

Kapal Siboga, atas perintah saya, melakukan perjalanan ke teluk Sekongkong, sudut barat daya pulau Sumbawa, dan dari sana dengan divisi pendaratan melanjutkan kunjungan ke daerah pedalaman Sekongkong. Di sana, sebagaimana di kampung-kampung lain yang dikunjungi, penduduk hadir dengan sikap ramah, dan senjata mereka sudah diserahkan ke kepala distrik.


Pada pagi hari 9 April diterima laporan bahwa La Oenroe telah ditangkap oleh penduduk Bangkat Monte, di daerah sekitar kampung itu, di mana ia selama ini berkeliaran tanpa arah. Pukul 1 siang ia dibawa ke Taliwang, bersama dengan senjata tajam yang ditemukannya sebuah senapan ulang Winchester yang masih ditemukan dalam kepemilikannya, turut diserahkan. Pada hari yang sama, brigade yang sebelumnya dikirim ke Pusu juga kembali.

Di distrik Djaréwé masih ada seorang kerabat La Oenroe, yakni seorang bernama Magaparang, yang juga memiliki beberapa pengikut bersenjata. Sultan Sumbawa sendiri sudah berangkat ke sana, tetapi tidak berhasil menangkap orang-orang tersebut. Karena itu, pada 10 April 1908, saya bersama pejabat sipil dan 4 brigade Marsose berangkat melewati kampung besar Laboean Lalar menuju Djaréwé, dan pada pukul 11 pagi kami tiba di sana. Segera setelah kedatangan kami, pejabat sipil berhasil menangkap seluruh keluarga dari si pemberontak Magaparang.

Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa Magaparang dengan 4 pengikutnya berkeliaran di sekitar kampung Sekongkong, maka Letnan Dua Schouten, yang baru pulih dari sakit dan kembali bergabung dengan kolone pada 9 April, dikirim kembali dengan satu brigade untuk memburu orang-orang itu. Pejabat sipil turut serta. Sementara itu, satu brigade lain ditempatkan sebagai perlindungan dan untuk memetakan wilayah menuju Sekongkong, sedangkan satu brigade lagi berpatroli di sekitar Djaréwé.


Djaréwé adalah kampung besar di Sumbawa, dengan lebih dari 200 rumah kokoh. Sikap penduduknya sangat memuaskan; melalui Enti Desa Djaréwé, telah diserahkan 4 senapan belakang, 111 senapan depan, 16 meriam besi, dan sekitar 600 tombak.

Pada pagi hari 12 April, Letnan Dua Schouten menyerbu tempat persembunyian Magaparang di pegunungan berbatu sebelah barat daya Sekongkong. Namun tempat itu ternyata sudah ditinggalkan, meski 2 orang pengikut Magaparang berhasil ditangkap.

Pada hari yang sama, saya mengadakan rapat besar bersama Sultan dan para kepala Djaréwé, di mana secara resmi dijanjikan bahwa segala usaha akan dilakukan untuk menangkap Magaparang. Seluruh laki-laki dari kampung Sekongkong sudah dikerahkan untuk menyisir wilayah itu.

Untuk mencegah si pemberontak melarikan diri ke Matayang, pada 13 April sebuah brigade di bawah Letnan Minderman diarahkan ke sana. Karena saya merasa pengejaran berikutnya dapat dengan penuh keyakinan saya serahkan kepada Letnan Dua Schouten, dengan dukungan kepala-kepala Djaréwé, dan karena keberadaan saya di sana tidak lagi diperlukan, maka pada hari itu juga saya kembali ke Taliwang dengan satu brigade pada pukul 4½ sore, sambil membawa serta keluarga Magaparang yang sudah ditangkap.


Perjalanan pulang itu menimbulkan banyak kesulitan, sehingga kami baru tiba di Taliwang pukul 10 malam. Pada pagi 14 April saya menerima kabar bahwa Magaparang, yang hanya beberapa jam setelah keberangkatan saya di Djaréwé muncul untuk menjemput keluarganya, telah dibunuh oleh penduduk yang berkumpul untuk melawan, bersama dengan dua pengikutnya. Senjata mereka — terdiri dari 4 senjata depan dengan amunisi, tombak, dan keris — diserahkan pada sore harinya.

Patroli Schouten dan Minderman, setelah mendengar berita kematian pemberontak itu, kembali pada hari yang sama ke bivak di Taliwang. Letnan Dua tersebut di Djaréwé telah memastikan kebenaran berita itu; mayat-mayat musuh ditunjukkan kepadanya, dan di hadapannya identitas mereka dikonfirmasi.

Di Taliwang, oleh penduduk pada 10 April, tiga pengikut terakhir Deng Rea yang masih berkeliaran telah ditangkap, dan diserahkan bersama 1 senapan ulang Winchester, 9 senjata depan, 1 pistol, serta amunisi dan senjata tajam.

Dengan demikian dapat dianggap bahwa ketertiban di Taliwang, Djaréwé, dan Seran telah dipulihkan; semua orang yang ikut serta dalam perlawanan dan tidak gugur atau ditangkap, kini telah menyerah; di mana-mana senjata telah diserahkan.

Namun, agar dapat dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa kini di seluruh wilayah Kesultanan Sumbawa keadaan sudah benar-benar tenang, saya memutuskan untuk dengan kolone Marsose melakukan satu perjalanan darat lagi dari Taliwang melalui Sumbawa dan Dompo menuju Bima.

Perjalanan dari Teluk Soembawa ke Teluk Bima merupakan sebuah mars perdamaian — perlawanan telah berakhir, para kepala (adat/raja kecil) menyerahkan diri di mana-mana, penduduk bekerja membuat jalan dan jembatan kampung, dan di beberapa jalur Swart bahkan bergerak seorang diri tanpa pengawalan militer. Sambil terus berjalan, pada 4 Mei Bima kembali dicapai, di mana pada 5 Mei kolone dibubarkan; urusan pemerintahan telah diatur; pulau itu ditempatkan di bawah seorang Asisten Residen dan dibagi dalam 3 sub-bagian; garnisun infanteri dari beberapa brigade telah ditetapkan dan tiba. Dalam ekspedisi militer tersebut telah disita dari Sumbawa, Dompo, serta Sanggar sejumlah 112 meriam besi dan perunggu, 217 senjata belakang (achterladers), 2373 senjata muat depan (voorladers), 203 pistol, dan lebih dari 17.000 tombak dan keris.

Pada 8 Mei, Swart berlayar kembali bersama koloninya dan pada 9 Mei kembali ke Makassar. Dan di bawah laporan yang kemudian diterbitkan sebagai Lampiran I.M.T., Departemen Perang menulis:

“Kecuali di Bima, sensus penduduk (registratie) tidak menghadapi perlawanan di mana pun, dan ketertiban serta ketenangan sejak itu tidak lagi terganggu.”

Di Bima, perlawanan terbesar terhadap sensus penduduk terjadi, dan bahkan di Donggo pada 22 November, utusan Sultan diserang ketika ia pergi ke kampung Kala untuk melaksanakan sensus.

Gubernur Celebes kemudian berangkat segera dengan 2 brigade Marsose di bawah Kapiten Liefrinck menuju Bima dan berhasil dengan cepat menekan perlawanan, setelah posisi berbatu di dekat kampung Lambie direbut. Maka di wilayah ini juga ketertiban dan ketenangan tidak pernah lagi diganggu.

Itulah mahkota sejati dari keberanian dan kebijakan Swart.

Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.
Posting Komentar