PERANG NGALI

Jihad dan Kekuasaan: Peran Islam dan Dampak Perang Ngali dalam Perubahan Politik Kesultanan Bima Awal Abad ke-20
Masyarakat Kesultanan Bima, yang didominasi oleh pemeluk agama Islam, dikenal memiliki ketaatan yang sangat tinggi terhadap syariat agama. Ketaatan ulama dan masyarakat Bima dalam menjalankan syariat ini memberikan dampak positif dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ulama dan rakyat Bima menentang penjajahan Belanda atau "orang kafir". Dalam ajaran Islam, konsep Jihad Fi Sabilillah membenarkan perjuangan melawan orang kafir, dan ideologi jihad inilah yang menjadi faktor utama munculnya perlawanan terhadap penjajah Belanda, yang puncaknya dikenal sebagai Perang Ngali.
Pergeseran Pusat Perjuangan dan Dilema Istana
Perjuangan melawan penjajah di Kesultanan Bima sebelum abad ke-20 selalu berpusat di istana, di bawah pimpinan Sultan dan ulama sebagai pejabat kesultanan. Namun, sejak awal abad ke-20, pusat perjuangan bergeser ke kampung-kampung, dipimpin oleh para tokoh yang mewakili berbagai kelompok sosial.
Pergeseran ini terjadi karena posisi Sultan dan ulama istana menjadi serba sulit. Pemerintah Kesultanan Bima telah terikat dengan isi perjanjian Lange Contract (kontrak panjang) yang dipaksakan oleh Belanda. Perjanjian ini mengikat Bima dalam berbagai peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia-Belanda, mengancam pilar utama ekonomi—kebebasan dagang—dengan adanya monopoli Belanda, dan mengancam kedaulatan serta keutuhan wilayah Bima.
Perjanjian Lange Contract inilah yang memicu kemarahan rakyat hingga meluap menjadi perlawanan di tiga tempat: Perang Ngali, Dena, dan Kala. Perlawanan ini merupakan manifestasi dari penjajahan langsung oleh Belanda terhadap Kesultanan Bima, menyadarkan Belanda bahwa Islam memiliki pengaruh besar dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat Bima dan tidak mudah dijajah.
Perang Ngali: Perlawanan Berbasis Keyakinan Agama
Perang Ngali merupakan gejala sosial, agama, ekonomi, dan politik yang muncul akibat rongrongan pemerintah kolonial Belanda. Ngali sendiri adalah perkampungan yang dipimpin oleh seorang Galarang—orang yang dianggap hebat dan berpengaruh. Menariknya, masyarakat Ngali dan Renda telah ada bahkan sebelum berdirinya Kesultanan Bima, yang pada masa itu dikenal dengan sebutan Ncuhi.
Titik pemicu Perang Ngali adalah ketika pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan aturan yang sangat bertentangan dengan keyakinan masyarakat, yaitu rencana untuk menarik pajak hasil bumi rakyat Bima. Aturan ini menimbulkan kekecewaan, sehingga terjadi mobilisasi massa besar-besaran dari kampung ke kampung untuk memberikan perlawanan kepada "Dou Kafir" (orang kafir).
Perjuangan ini dipimpin oleh tokoh seperti Galarang Ngali Salasa Ompu Kapa’a bersama rekan-rekannya , serta tokoh sentral lainnya, Abbas Daeng Manasa, yang berperan sebagai panglima perang. Ulama-ulama yang tidak mau tunduk menyerukan kepada masyarakat bahwa melawan "Dou Kafir" adalah wajib menurut ajaran Islam, terutama melalui Jihad Fi Sabilillah. Rakyat menganggap "haram" menerima dan tunduk di bawah perintah orang kafir.
Massa yang terkumpul hingga beribu-ribu orang , bukan hanya dari Ngali tetapi juga dari desa-desa lain dalam Kejenelian Belo (seperti Renda, Roi, Roka, Ncera, dan Lido) , berkumpul di Masjid Raya Ngali. Selama tiga hari tiga malam, mereka mengadakan takbir dan tahlil keliling kampung sebagai tanda dimulainya perang. Semboyan mereka tegas: menerima Belanda berarti dijajah, dijajah Belanda berarti kafir, berperang dengan kafir berarti sabil. Mereka semua bertekad untuk mati syahid di jalan Allah.
Kekalahan Ngali dan Intervensi Politik Belanda
Meskipun Sultan Ibrahim berada dalam posisi sulit karena terikat kontrak, ia sadar bahwa perlawanan rakyat adalah suatu perjuangan dan ia mendukungnya. Sultan bahkan mengirim utusan untuk menyampaikan berita serangan Belanda kepada masyarakat Ngali.
Namun, Belanda menggunakan tipu muslihat dan siasat kotor, yaitu dengan menghasut dan merealisasikan politik adu domba. Mereka membentuk pasukan kerajaan dengan dalih menegakkan wibawa Sultan Ibrahim. Pasukan ini, yang tujuannya untuk kepentingan Belanda, digunakan untuk mengetahui besarnya kekuatan masyarakat Ngali.
Perlawanan masyarakat Ngali akhirnya dipatahkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Kemenangan ini memungkinkan Belanda untuk mulai merealisasikan impian mereka yang tertuang dalam Lange Contract. Setelah perang berakhir, Kesultanan Bima secara resmi ditaklukkan pada 20 Januari 1909.
Dampak Kemenangan Belanda: Perubahan Struktur dan Sosial
Kemenangan Belanda atas Perang Ngali menjadi tonggak bagi penetapan pemerintahan kolonial langsung di Kesultanan Bima. Meskipun Bima diberikan hak otonomi, tetap berada di bawah pengawasan kolonial. Pelaksanaan sistem pemerintah kolonial ini membawa akibat besar bagi perubahan organisasi dan tata hukum kesultanan:
- Penyusutan Majelis Hadat: Jumlah anggota Majelis Hadat dikurangi dari 12 menjadi hanya dua orang, yaitu Sultan dan Ruma Bicara.
- Pembekuan Lembaga: Kekuasaan Majelis Hadat dipersempit, dan Majelis Tureli (badan harian pemerintahan) ditekan hingga mencapai titik pembekuan dan diganti dengan Dewan Pemerintahan Belanda.
- Penghapusan Mahkamah Syar’iyah: Lembaga ini dihapus dan diganti dengan peradilan Hindia Belanda. Tujuannya adalah menjauhkan orang Bima dari pelaksanaan hukum Islam dan menghilangkan sendi-sendi hukum Islam dalam pemerintahan. Perkara pidana yang diancam hukuman mati, potong tangan, atau perkosaan dialihkan kepada majelis rapat besar, rapat tengah, dan rapat rendah yang dibuat oleh kolonial
Kekosongan Hukum Islam: Penghapusan Mahkamah Syar’iyah pada 1908 menimbulkan kekosongan institusional peradilan agama di Bima, yang berlangsung hingga masa proklamasi kemerdekaan (1945) dan berlanjut hingga pembentukan Badan Hukum Syara pada 1947.
Secara sosial, Perang Ngali juga menimbulkan pengorbanan besar, baik moril maupun material. Belanda dengan leluasa menerapkan sistem belasting (pajak) dan kerja paksa/kerja rodi. Kerja paksa diistilahkan dengan manis sebagai herendienst (kerja rodi untuk keperluan tuan tanah) dan kerja hamente (kerja rodi bagi rakyat yang tidak mampu membayar belasting). Rakyat Bima sangat menderita, dengan pajak yang diterapkan f2,50 per orang dewasa dalam setahun.
Meskipun demikian, Sultan Ibrahim menunjukkan kebijaksanaan politiknya pasca-perang. Ketika para pemimpin Perang Ngali ditahan, hukuman yang diberikan bukanlah hukuman mati atau buang seumur hidup (hukum kesultanan untuk pembangkangan), melainkan denda 70 ekor kerbau jantan. Sultan menganggap perlawanan masyarakat Ngali bukan melawan Kesultanan Bima, tetapi melawan pemerintah kolonial Belanda. Namun, untuk mencegah perlawanan serupa di kemudian hari, tokoh-tokoh perang Ngali tidak diperkenankan tinggal di perkampungan dan harus tinggal di sekeliling Sultan.