Kesultanan Bima dari Masa ke masa
daerus
... menit baca
👑 Sejarah awal
Bima adalah kota otonom dan nama sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada masa lalu, Bima merupakan salah satu pusat kekuasaan Islam yang terpenting di Pulau Sumbawa, bahkan di kawasan Nusa Tenggara.
(Sebagai catatan: Setelah kemerdekaan (sekitar tahun 1950-an), kawasan Nusa Tenggara dikenal sebagai kepulauan Sunda Kecil, membentang dari Pulau Bali sampai Pulau Timor. Wilayah ini kini dibagi menjadi tiga provinsi: Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Nusa Tenggara Barat sendiri meliputi Pulau Lombok, Sumbawa, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Selain Kerajaan Bima, di Pulau Sumbawa terdapat kerajaan Sumbawa, Dompu, Sanggar, Tambora, dan Papekat.)
Menurut legenda, nama Bima diambil dari nama Sang Bima, seorang bangsawan Jawa yang berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di daerah itu menjadi satu kerajaan, yaitu Kerajaan Bima. Legenda juga menceritakan bahwa Sang Bima memiliki kekasih seekor naga dari Pulau Sitonda, yang melahirkan seorang putri bernama Tasi Saring Naga. Sang Bima kemudian menikahi putrinya, dan dari perkawinan itu lahirlah Indra Jamrut dan Indra Komala, yang kelak menjadi cikal bakal keturunan raja-raja dan sultan-sultan Bima dan Dompu.
📜 Garis Keturunan Raja dan Sultan
Menurut Morris (1890), selama keberadaan Kesultanan Bima, ada 49 raja dan sultan yang pernah memerintah, di mana Maharaja Sang Bima ditempatkan pada urutan ke-11. Sementara itu, catatan Rouffaer yang diterbitkan oleh Noorduyn (1987b) mencantumkan 26 raja atau sultan, dari Maharaja Sang Bima sampai Sultan Ibrahim.
Sesungguhnya, sejak muncul sebagai pusat kekuasaan Islam hingga tahun 1950, Kesultanan Bima diperintah oleh empat belas sultan, mulai dari Sultan Abdul Kahir (1620–1640) sampai Sultan Muhammad Salahuddin (1915–1951) sebagai Sultan Bima yang terakhir. Meskipun demikian, data dari Morris dan Rouffaer tidak keliru, sebab ketika Braam Morris menulis artikelnya (1890) dan Rouffaer berkunjung ke Bima (1910), yang sedang memerintah adalah Sultan Ibrahim (1881–1915) sebagai sultan ke-13. Nama raja-raja Bima sebelum masa Islam sendiri masih menjadi perdebatan.
🗺️ Luas dan Batas Wilayah Awal
Berdasarkan data yang dihimpun peneliti, sampai dengan abad ke-19, Kerajaan Bima meliputi bagian timur Pulau Sumbawa, Flores Barat (Manggarai), dan 66 pulau kecil di Selat Alas (Van Dijk 1925).
Sejak kapan Manggarai menjadi wilayah kekuasaan Bima belum diketahui pasti. Abdullah (1981/1982) mencatatnya pada masa pemerintahan Manggampo Donggo sekitar abad ke-14, sementara sumber VOC (Daghregister) mencatat Manggarai sebagai wilayah Bima pada tahun 1661 (Coolhas 1942: 162).
Wilayah Kerajaan Bima di bagian timur Pulau Sumbawa berbatasan:
* Utara: Laut Jawa
* Timur: Selat Sape
* Selatan: Lautan Hindia
* Barat: Kerajaan Dompu (Haris 1997: 6)
Luas Kerajaan Bima pada tahun 1886, sebagaimana tercantum dalam kontrak antara Gubernur Celebes dan Sultan Bima, adalah 156 mil persegi. Wilayah ini terbagi: 71,5 mil persegi di Pulau Sumbawa dan pulau-pulau kecil, serta 84,5 mil persegi di Pulau Flores (Morris 1890: 176—177).
Secara administrasi, wilayah Kerajaan Bima di Pulau Sumbawa dibagi menjadi tiga distrik: Belo, Bolo, dan Sape, masing-masing diperintah oleh seorang galarang. Sementara itu, wilayah di Flores Barat atau Manggarai terdiri atas daerah Reo dan Pota, yang diperintah oleh pejabat bergelar naib sebagai wakil sultan, membawahkan para galarang, dalu, dan kepala-kepala kampung.
📉 Penyempitan Wilayah
Dalam perkembangan kemudian, wilayah Kesultanan Bima semakin menyempit. Dalam kontrak terakhir Kerajaan Bima dengan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1938, disebutkan bahwa wilayah Kerajaan Bima (Landschap Bima) hanya berbatasan dengan Landschap Dompu di barat dan Landschap Manggarai di timur.
Penyempitan ini terjadi karena sejak tahun 1929, daerah Manggarai dan pulau-pulau sekitarnya dinyatakan terpisah dari Bima dan dijadikan Neo Landschap oleh pemerintah Hindia Belanda, yang kini menjadi salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur. (Menurut Coolhaas (1942: 168), hubungan antara Bima dan Manggarai terputus sejak tahun 1928.)
Sebaliknya, daerah Kerajaan Sanggar, sebuah kerajaan kecil di pantai barat Semenanjung Gunung Tambora, sejak tahun 1928 digabungkan dengan Kesultanan Bima dan sekarang menjadi salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Bima.
Kesultanan Bima berakhir dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang penghapusan daerah swapraja, yang kemudian diikuti dengan pembentukan Daerah Tingkat II di seluruh Indonesia.
🕌 Kemunculan Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam
Kronik Bima (Bo Kerajaan Bima) mencatat bahwa kontak pertama dengan orang Eropa (Belanda) terjadi pada masa Raja Bima ke-36, Sariese, sedangkan Raja Bima ke-37, Sawo, adalah raja terakhir yang belum memeluk Islam. Zollinger berpendapat bahwa agama Islam pertama kali datang di Bima pada tahun 1450–1540, dan Sultan Bima yang pertama (Raja Bima yang pertama memeluk Islam) adalah Abdul Galir (Abdul Kahir).
🚢 Peran Pedagang Muslim dan Jawa
Syamsuddin (1980) menghubungkan kedatangan Islam di Bima dengan masa kejayaan Melaka (1400–1511) sebagai pusat perdagangan dan penyebaran Islam di Asia Tenggara. Setelah jatuhnya Melaka ke tangan Portugis pada 1511, pedagang Muslim/mubalig mencari daerah baru atau kembali ke Jawa/Sumatra. Di antara mereka, ada yang singgah di Bima, menyebarkan Islam dalam perjalanan dari Jawa ke Maluku atau sebaliknya.
Tomé Pires melaporkan bahwa rute pelayaran perdagangan dari Melaka ke Maluku melewati Jawa dan Bima. Rute ini memperkuat hubungan antara Melaka dan kota-kota di pesisir utara Jawa, terutama Gresik, yang mengontrol impor rempah-rempah dari Maluku. Oleh karena itu, selain pedagang Melayu, pedagang Muslim dari Jawa (khususnya Jawa Timur: Gresik dan Surabaya) juga berperan dalam aktivitas penyebaran Islam di sepanjang rute pelayaran, termasuk Bima. Babad Lombok bahkan menceritakan bahwa Islam dibawa ke Lombok, Sumbawa, dan Bima oleh Sunan Prapen dari Giri (Faille 1918).
🧕 Pengaruh Melayu dan Arab
Berdasarkan inskripsi pada makam Sultan Bima, Roufaer menyimpulkan bahwa pengaruh Melayu dan Arab sangat kuat, karena inskripsi ditulis dengan huruf Arab dan berbahasa Melayu, bukan bahasa Bima atau Bugis. Rouffaer berpendapat Islam di Bima dibawa atau datang dari Melayu, Aceh, dan Cirebon. Para penyebar Islam (terutama orang Melayu) diperkirakan tiba di Bima pada masa pemerintahan Manuru Sarehi sekitar tahun 1605 (Nooduyn 1987b: 90–91).
(Rouffaer juga mencatat bahwa pada tahun 1605, orang-orang Belanda datang pertama kali di Bima, dipimpin Steven van der Haghen, dan mengadakan perjanjian dengan Raja Bima, Manuru Sarehi. Namun, sumber lain menyebut perjanjian itu dilaksanakan pada tahun 1611 antara Belanda dan Raja Salisi secara lisan di Dusun Cenggu, dikenal sebagai “Sumpah Ncake” (Abdullah 1981/1982: 22).)
Di samping makam Sultan Abdul Kahir (Sultan Bima I) terdapat makam Kadhi Jamaluddin, yang menurut Rouffaer kemungkinan berasal dari Melayu. Orang Melayu sendiri memiliki pemukiman di sebelah barat dan timur pelabuhan Bima, yang disebut Kampo Malayu atau Dau Melayu. Mereka adalah pedagang ulet dan perantara budaya Melayu.
Sultan Abdul Kahir berpesan agar penggantinya dan rakyat Bima menghormati orang Melayu, karena mereka dianggap guru Sultan Bima dan guru orang Bima dalam agama Islam. Mereka juga berjasa dalam menumpas bajak laut. Sebagai penghargaan, Sultan Abdul Kahir menghadiahkan tanah untuk perkampungan mereka dan membebaskan mereka dari pajak. Para penghulu dan imam Melayu juga diberi hak istimewa untuk mengelola perkampungan mereka menurut hukum Islam.
🤝 Peran Tokoh Gowa
Sumber lain menyebutkan Islam dibawa ke Bima oleh Datuk Dibandang dan Datuk Ditiro, yang juga dikenal sebagai pembawa Islam di Kerajaan Gowa dan Tallo. Diduga keduanya adalah orang Melayu dari Sumatra (Datuk Dibandang dari Minangkabau). Mereka datang ke Bima sebagai utusan Sultan Gowa untuk menyebarkan Islam, dan kemudian menjadi guru agama Islam Sultan Abdul Kahir (Sultan Bima I).
(Datuk Dibandang (ri Bandang) datang ke Sulawesi Selatan sekitar tahun 1600, mengislamkan Gowa dan Tallo pada 1606. Menurut Rouffaer, ia dan Datuk Ditiro (dari Aceh) datang di Bima melalui Sape. Kronik Bima mencatat kedatangan mereka terjadi antara tahun 1013 H/1609 M dan 1050 H/1640 M.)
⚔️ Islamisasi Melalui Kekuatan Militer
Berdasarkan kronik-kronik Gowa dan Tallo, Noorduyn (1987a: 312) berpendapat bahwa Islam dibawa ke Bima dan sekitarnya dengan kekuatan senjata (cara kekerasan) oleh orang Makassar, tidak lama setelah Gowa menjadi Muslim (1605–1611). Kronik Gowa menyebutkan bahwa Bima, Dompo, dan Sumbawa ditaklukkan oleh Karaeng Matoaya, raja Tallo yang merangkap Perdana Menteri Kerajaan Gowa.
Gowa tercatat empat kali mengirim ekspedisi militer ke Bima:
* Tahun 1618 (Ekspedisi pertama).
* Tahun 1619 (Ekspedisi kedua).
* Tahun 1626 (Ekspedisi ketiga).
* Tahun 1632 (Ekspedisi keempat), dipimpin Karaeng Buraqne, untuk menumpas pemberontakan.
Pada 1618, dua pendeta Jesuit, Manuel Azevedo dan Manuel Ferreira, tiba di Bima dan menjumpai utusan dari Jawa (Giri) dan Makassar yang meminta Raja Bima memeluk Islam secara sukarela atau akan diperangi. Upaya diplomatik ini tidak berhasil, sehingga Makassar segera mengirim ekspedisi militer pertamanya.
📅 Penetapan Waktu Islamisasi
Noorduyn (1987a: 338) menyimpulkan bahwa Islamisasi di Bima berlangsung sebelum pengiriman ekspedisi militer keempat, yaitu antara tahun 1626 dan 1632/1633, meskipun sudah dimulai sejak 1618.
Kronik Bima mencatat Abdul Kahir, Sultan Bima I, memeluk Islam pada tanggal 15 Rabiul Awal 1030 H (7 Februari 1621). Tokoh ini adalah keponakan dari raja sebelumnya, Mantau Asi Peka atau Raja Salisi, yang menolak Islam. Abdul Kahir meminta bantuan pasukan Makassar untuk menyingkirkan pamannya. Peristiwa ini menunjukkan bahwa perebutan kekuasaan antarkeluarga kerajaan ikut berperan penting dalam proses Islamisasi di Bima.
Setelah Raja Bima memeluk Islam, gelar sangaji diganti menjadi sultan, dan para ncuhi diubah gelarnya menjadi galarang. Sultan Abdul Kahir (memerintah 1620–1640) adalah peletak dasar agama Islam dan pendiri kerajaan Islam Bima, yang sejak saat itu menjadi vasal (daerah taklukan) Kerajaan Gowa.
Hubungan politis ini dipererat melalui perkawinan antara elite Bima dan putri bangsawan Sulawesi Selatan. Sultan Abdul Kahir menikah dengan adik ipar Sultan Gowa, Alaudin, bernama Karaeng Sikontu. Namun, setelah Perjanjian Bungaya antara Gowa dan VOC pada tahun 1667, wilayah kekuasaan Gowa, termasuk Bima, berpindah ke tangan VOC.
🏛️ Sistem Politik dan Pemerintahan
Meskipun Bima terikat perjanjian dengan VOC, ia tetap menjalankan pemerintahan sendiri (zelfbestuur). Dalam sistem pemerintahan Kesultanan Bima, Sultan berada di puncak hierarki kekuasaan, disebut Ruma Sangaji Mbojo.
👥 Dewan Hadat dan Raja Bicara
Sultan didampingi oleh sebuah Dewan Kerajaan yang disebut Hadat (mirip Batte Salapang di Gowa atau Arung Pitu di Bone). Dewan Hadat dipimpin oleh Raja Bacara (Ruma Bicara atau Wazir al Muazam).
* Raja Bicara: Jabatan tertinggi kedua, bertindak sebagai pemimpin dewan pemerintahan dan Perdana Menteri. Ia adalah saluran penyampaian kehendak raja kepada rakyat dan berhak menandatangani kontrak dengan penguasa luar atas nama sultan.
* Sultan: Dianggap sebagai wakil Tuhan, tetapi kekuasaannya dibatasi oleh ketentuan Hadat. Sultan adalah pemegang amanah Hadat dan tidak dapat menggunakan kekuasaannya (seperti keputusan perang atau hukuman mati) sebelum dipertimbangkan oleh Majelis Hadat.
Sultan dipilih oleh Dewan Hadat berdasarkan keturunan Dinasti Sang Bima (garis laki-laki). Pelantikan sultan (jene teke) dilakukan di pasar, di depan istana (amba naE), di mana calon sultan mengucapkan ikrar untuk bertindak jujur dan mengutamakan kepentingan rakyat.
📊 Struktur Dewan Hadat
Dewan Hadat beranggotakan 24 orang pejabat tinggi kerajaan dengan gelar tureli, jeneli, dan bumi.
| Gelar Pejabat | Jumlah | Tugas Utama | Keterangan |
|---|---|---|---|
| Tureli | 6 orang | Anggota Dewan Hadat. | Dianggap setingkat atau satu keturunan dengan Raja Bicara dan Sultan. |
| Jeneli | 6 orang | Anggota Dewan Hadat dan Kepala Eksekutif (Kepala Distrik) di wilayahnya. | Wilayah kejenelian kini menjadi wilayah kecamatan. Berasal dari keturunan yang berbeda dengan Sultan, Raja Bicara, dan Tureli. |
| Bumi | 12 orang | Majelis Hakim, dipimpin oleh Bumi Luma RasanaE dan Bumi Luma Bolo. | Gelar yang berarti 'orang bijaksana' dan setingkat dengan Jeneli. Bertugas mengadili dan memutuskan perkara. |
Anggota Dewan Hadat (kecuali Sultan) dipilih oleh rakyat secara bertingkat (kepala kampung memilih bumi naE, jeneli, dan tureli). Tugas utama Dewan Hadat antara lain mengangkat dan memecat sultan serta menyatakan perang.
🚓 Pejabat Lainnya
* Bumi Renda: Bertanggung jawab atas kepolisian dan menjadi panglima perang.
* Bumi Prisi Mbojo, Bolo, Kae: Bertugas sebagai penghubung dan juru bahasa untuk orang asing dan Pemerintah Hindia Belanda.
* Galarang Kepala, Galarang, Lobe (Lebai), Cepeweki, Domo Dou, Dalu: Pejabat di tingkat distrik hingga kampung.
* Dewan Syara (Sara Dana Mbojo): Mengurus masalah keagamaan, terdiri dari khalif, imam, khatib, lebe, bilal, dan rabo, di bawah pengawasan seorang khalif bergelar Annangguru Mangaji.
* Pejabat Istana: Termasuk rato parenta (mengatur kedinasan), ompu toi (urusan rumah tangga), bumi nggeko (ajudan), dan lain-lain.
🕌 Peninggalan Sejarah dan Kesimpulan
Di pusat Kota Bima hingga kini masih berdiri dua bangunan bekas istana sultan sebagai bukti autentik keberadaan Kesultanan Bima:
* Asi Bou (Istana Baru): Terbuat dari kayu, dibangun tahun 1904 oleh Sultan Ibrahim. Masih berfungsi sebagai tempat tinggal ahli waris.
* Asi Mbojo (Istana Bima): Bangunan modern dari bata, dibangun tahun 1927 oleh Sultan Salahuddin. (Dirancang oleh arsitek Ambon bernama Rehatta.) Setelah dipugar (1977–1979), bangunan ini dialihfungsikan sebagai Museum Daerah Bima sejak 11 Agustus 1989.
Di depan istana terdapat tiang bendera Kerajaan Bima setinggi 50 meter dan meriam kuno. Untuk memasuki halaman istana, terdapat dua gerbang: Lawa Kala (timur) dan Lare Lare (utama, barat).
Tidak jauh dari istana, di Desa Paruga, berdiri Masjid Kesultanan Bima, yang dibangun oleh Sultan Abdul Kadim dan Wazir Ismail pada tanggal 16 Zulhijah 1149 H (5 April 1737 M). Di belakang mihrab masjid terdapat kompleks makam para sultan Bima dan keluarganya (Makam Kampung Sigi).
Kompleks makam sultan Bima lainnya termasuk Makam Tolo Bali (Makam Gili Pandan) dan Makam Dantraha. Di Makam Dantraha, yang terletak di atas bukit, dimakamkan Sultan Abdul Kahir, sultan Bima yang pertama.
Selain bangunan-bangunan ini, benda budaya penting Kesultanan Bima yang masih tersimpan antara lain Mahkota Sultan yang berhiaskan permata dan Keris Samparaja, yang merupakan lambang kekuasaan Sultan Bima.
Apakah Anda ingin saya melakukan perapian lebih lanjut, misalnya membuat ringkasan dari artikel ini?
Sebelumnya
...
Berikutnya
...
