BIMA UNTUK NKRI
daerus
... menit baca
foto pidato Sultan Muhammad Salahuddin pada tanggal 22 November 1945 di pelataran barat Asi Mbojo.
Penjajahan Belanda dan Keterkungkungan Politik (Pra-1915)
Jauh sebelum Sultan Muhammad Salahuddin naik tahta, Kesultanan Bima telah berada di bawah pengawasan dan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, diikat dalam berbagai perjanjian dan kontrak politik. Perjanjian 1908 menjadi penanda resmi bahwa Kerajaan Bima telah menjadi bagian dari Hindia Belanda. Sejak saat itu, semua urusan kerajaan harus diketahui dan mendapat izin dari pemerintah Kolonial Belanda, yang secara efektif menghilangkan independensi Kesultanan Bima sebagai kerajaan yang mandiri.
Belanda sengaja melakukan perombakan struktur pemerintahan Bima. Pada masa sebelumnya, pemerintahan terdiri dari "Sara-Sara" (dipimpin Ruma Bicara), "Sara Tua" (dewan perwakilan hadat yang dipimpin Sultan), dan "Sara Hukum" (dipimpin Qadi). Berdasarkan traktat panjang yang dipaksakan, Belanda kemudian menghapus fungsi Sara Hukum dari Majelis Hadat. Penghapusan ini disengaja karena selama Sara Hukum berfungsi, pemerintahan Kerajaan Bima masih berdasarkan Islam, dan hal tersebut dianggap membahayakan Belanda. Akibatnya, pada masa Sultan Muhammad Salahuddin, struktur pemerintahan hanya terdiri dari Sara-Sara dan Sara Tua, yang secara otomatis mengurangi pengaruh langsung Islam dalam pemerintahan. Selain itu, Belanda berhak memungut pajak tanpa mengindahkan hukum adat, membuat kerajaan kehilangan kedaulatan untuk melindungi rakyatnya—sebuah kondisi yang dipandang rakyat Bima sebagai penjajahan (karangga wari).
Konsolidasi Kekuatan dan Peran Sultan Muhammad Salahuddin (1915–1942)
Meskipun berada di bawah kendali kolonial yang berusaha mengendalikannya dalam segala hal , Sultan Muhammad Salahuddin tetap melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin. Sultan menyadari sepenuhnya pentingnya persatuan dan kemerdekaan bagi seluruh wilayah Indonesia , dan beliau berperan aktif mempropagandakan Pergerakan Nasional, sehingga dikenal sebagai seorang Nasionalis.
Perlawanan Bima terhadap Hindia Belanda tidak selalu bersifat frontal, tetapi juga dilakukan melalui pembentukan perkumpulan dan organisasi pergerakan. Sultan secara terbuka memberikan restu dan dukungan terhadap pertumbuhan organisasi-organisasi Nasional di Bima:
Perjuangan melalui Organisasi dan Pendidikan
Serikat Islam (SI): Berdiri di Bima pada tahun 1920, diperkenalkan oleh ulama Haji M. Tahir. SI menjadi pelopor pergerakan yang membawa aspirasi untuk menghapuskan kerja paksa (kerja rodi) dan menolak pajak. Sultan bahkan mengizinkan pejabat Kerajaan menjadi anggota dan pengurus SI. Meskipun dipaksa bubar oleh Belanda pada 1923, semangat perjuangan berlanjut melalui perkumpulan perdagangan Setia Utama.
Pembukaan Sekolah Islam:
Masyarakat Bima yang taat agama menaruh kecurigaan pada materi pendidikan Belanda seperti Holland Inlandsche School (HIS). Sultan dan para pemuka masyarakat kemudian membuka sekolah-sekolah agama seperti Madrasyah Darul Tarbiyah (1931) dan Darul Ulum Bima (1934). Tujuan pendidikan ini melampaui kecerdasan dan keterampilan, yaitu untuk mencetak kader-kader militan dan berani menghadapi Kolonial Belanda. Lembaga Syara Hukum diaktifkan kembali perannya untuk mengembangkan sekolah agama dan rumah ibadah.
Muhammadiyah dan NU: Perkumpulan Muhammadiyah didirikan pada 1937 dan aktif dalam amal ma'aruf nahi mungkar melalui pengajian dan kegiatan sosial, serta menarik minat kaum muda. Sultan juga mengundang Syekh Syehab, anggota NU Pusat, untuk berdakwah, yang akhirnya membentuk organisasi sosial keagamaan Nahdatul Ulama.
Perebutan Kekuasaan dari Belanda dan Pendudukan Jepang (1942–1945)
Pada awal tahun 1942, setelah Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, riwayat penjajahan Kolonial Belanda di Bima yang dimulai tahun 1905 pun tamat. Di Bima sendiri, Komite Aksi penangkapan Belanda dibentuk, sebuah gerakan yang didukung penuh oleh Sultan Muhammad Salahuddin.
Pada tanggal 5 April 1942, sebuah aksi perebutan kekuasaan yang tersusun rapi dilakukan oleh laskar inti yang terdiri dari serdadu KNIL berjiwa nasionalis (dipimpin Aritonang) dan dibantu pemuda-pemuda pergerakan yang tergabung dalam Laskar Bima. Aksi ini berhasil menangkap sejumlah pejabat Belanda, termasuk Kontrolir Bima Mr. Hachman.
Setelahnya, muncul insiden pertempuran di Sori Utu antara Laskar Bima melawan pasukan dari Sumbawa yang terpancing isu adu domba (devide et impera) oleh Asisten Residen H.E. Haak. Perundingan akhirnya menyadarkan kedua belah pihak bahwa pertempuran itu hanyalah politik adu domba Belanda. Dengan berakhirnya insiden ini, Belanda meninggalkan Kerajaan Bima. Melalui serangan 5 April 1942, pemerintahan Kesultanan Bima di bawah Sultan Muhammad Salahuddin berhasil merebut kekuasaan penuh dari tangan Hindia Belanda.
Kedatangan tentara Jepang di Bima pada 17 Mei 1942 , awalnya disambut sebagai "saudara tua". Namun, kedatangan ini tidak bertahan lama setelah Bendera Bima diturunkan dan digantikan dengan bendera Jepang, menandai dimulainya penjajahan baru. Sultan Muhammad Salahuddin menunjukkan sikap tegasnya terhadap kekejaman Jepang, terutama dalam menghadapi permintaan penyediaan wanita pelayan (jugun ianfu). Sultan menolak permintaan itu setelah berunding dengan Jeneli RasanaE. Untuk melindungi kehormatan rakyat Bima, Sultan menyarankan dan menganjurkan agar para orang tua segera mengawinkan anak gadis mereka (nika baronta), sebuah sikap tegas yang memaksa Jepang mengurungkan niatnya.
Mempertahankan Republik dan Bergabung dengan NKRI (1945–1950)
Setelah Jepang menyerah , Sultan Muhammad Salahuddin secara resmi menerima informasi kemerdekaan dari utusan Gubernur Sunda Kecil I Gusti Ketut Puja. Pada 31 Agustus 1945, Jenderal Mayor Tanaka menyerahkan kekuasaan pemerintahan sipil kepada pemerintah Kerajaan Bima. Dengan demikian, sejak tanggal tersebut, pemerintah Kerajaan Bima secara de facto memegang kedaulatan atas wilayah Bima dan Dompu.
Revolusi perjuangan rakyat Bima pun dimulai, dengan Tente sebagai sentral pergerakan. Organisasi-organisasi pejuang dibentuk, termasuk Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan Angkatan Pemuda Indonesia (API).
Penolakan Keras Terhadap NICA
Sikap tegas Sultan terhadap Republik ditunjukkan pada 30 Oktober 1945, ketika ia sepakat dengan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Bima untuk melaksanakan upacara resmi pengibaran bendera Merah Putih di Istana Bima.
Ketika Netherland Indies Civil Administration (NICA) mendarat pada awal 1946 dan meminta Sultan untuk menerima mereka , Sultan Muhammad Salahuddin berunding dengan tokoh KNID, API, dan TKR. Keputusan yang diambil adalah: Kerajaan Bima tidak akan menerima NICA. Dalam perundingan dengan Brigadir Jenderal G.H. Dyke di atas kapal perang Australia, Sultan bersikeras bahwa Kerajaan Bima berdiri di belakang Republik Indonesia, dan hanya bendera Merah Putih yang boleh dikibarkan. Meskipun Sultan dipaksa menerima Sekutu dan NICA di bawah ancaman sebagai "penjahat perang" , sikapnya jelas tidak lagi menganggap dirinya sebagai pimpinan kerajaan, melainkan sebagai pimpinan daerah yang merupakan wilayah Republik Indonesia.
Politik Adu Domba dan Penyesuaian Monarki
Belanda terus berupaya memecah belah persatuan bangsa melalui politik Devide et Impera. Meskipun demikian, semangat nasional yang menjunjung tinggi persatuan tetap bergelora di dada sanubari rakyat Bima.
Pada tahun 1947, Sultan Muhammad Salahuddin memulihkan kembali pemerintahan yang berdasarkan Hukum Hadat dan Hukum Islam dengan membentuk Raad Bima-Dompu dan mengaktifkan kembali Majelis Tureli dan Badan Hukum Syara'. Sultan bahkan merangkap jabatan sebagai Qadi (pimpinan tertinggi majelis Syara'). Pada tahun 1948, status Kerajaan Bima berubah menjadi zelf bestuur (swapraja).
Di tengah situasi politik yang berubah, Sultan tetap mempertahankan hubungan dengan Republik di Yogyakarta. Pada tahun 1949, Sultan mengutus delegasi ke Kongres Al-Islami di Yogyakarta untuk menyampaikan sikap mempertahankan Negara Republik Indonesia dan menolak pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS).
Puncaknya, pada tahun 1950, Dewan Raja-raja federasi Pulau Sumbawa (Sultan Bima, Sultan Sumbawa, dan Sultan Dompu) secara resmi mengeluarkan pernyataan bersama pada 11 April untuk melepas diri dari Negara Indonesia Timur (NIT) dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia di Yogyakarta. Perjuangan ini sukses, dan Kerajaan Bima berubah statusnya menjadi Daerah Swapraja Bima pada tahun 1950.
Kesultanan Bima, di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad Salahuddin, telah membuktikan keterlibatan langsungnya dalam gerakan nasional, menjadi salah satu pionir dalam memperjuangkan kemerdekaan di wilayah Indonesia Timur.
Dari Bima Untuk NKRI
Ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, proklamasi dan pancasila sesungguhnya telah diikrarkan oleh Kesultanan Bima dan rakyat Bima sejak tahun 1945.
Berikut cuplikan pidato Sultan Muhammad Salahuddin dihadapan Bung Karno pada kunjungan kenegaraan di Istana Bima ( Asi Mbojo) tanggal 30 November 1950.
Paduka yang mulia,
Rindu yang meluas ini bukan baru sekarang saja timbulnya, akan tetapi sejak ledakan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, pada saat ketika mana terbayanglah di muka kami rakyat disini wajah bapak-bapak pemimpin kita Bung Karno dan Bung Hatta yang sedangmemproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Lalu pada saat itu juga tertanamlah dalam jiwa rakyat disini arti proklamasi yang harus dijunjung tinggi, harus dipertahankan dan harus dimiliki itu, sehingga pada tanggal 22 Nopember 1945, kami di kesultanan Bima ini mengeluarkan peryataan bahwa daerah kesultanan Bima menjadi daerah istimewa yang langsung berdiri di belakang Negara Republik Indonesia.
Foto ini adalah foto pidato Sultan Muhammad Salahuddin pada tanggal 22 November 1945 di pelataran barat Asi Mbojo. Cuplikan pidato di atas telah diabadikan dalam bentuk poster di lantai dua Museum Asi Mbojo di ruang kerja Sultan Muhammad Salahuddin
Sebelumnya
...
Berikutnya
...
