SUKSESI KERAJAAN SUMBAWA 1791 DAN KRONIK PEMILIHAN RANGA

Ketegangan politik di Kesultanan Sumbawa memuncak pada tahun 1791. Dalam rentang waktu kurang dari satu tahun, dua tokoh kunci di Sumbawa, Raja Sumbawa dan pejabat tertinggi Rijksbestuurder (Nene Ranga), wafat hampir bersamaan. Peristiwa ini tidak hanya membuka kembali persaingan faksi lama yang penuh dendam, tetapi juga menempatkan otoritas Belanda (Kompeni/VOC) dalam posisi dilematis antara campur tangan dan menjaga stabilitas demi kepentingan kontrak dagang.
Pergulatan suksesi ini terungkap jelas dalam korespondensi antara Residen Bima, Cornelis Meurs, dengan atasannya di Makassar dan Batavia.
Perkawinan Politik dan Kekhawatiran Makassar
Kabar angin pertama mengenai wafatnya Raja Sumbawa berembus pada 25 Oktober 1790. Dari Kasteel Rotterdam, Williem Beth segera memperingatkan Residen Meurs di Bima. Kekhawatiran utama Kompeni adalah adanya intervensi dari luar—tepatnya dari pihak Bima. Raja Bima baru saja menikah dengan putri dari Raja Sumbawa yang dikabarkan wafat.
"Sebab Raja Bima baru saja menikah dengan seorang putri dari raja yang wafat tersebut; sudah tentu bila Raja Bima hendak turut memerintah negeri itu, perselisihan dan ketidaksenangan dapat timbul dari situ.”
Meskipun kabar wafatnya raja saat itu terbukti tidak benar, kecurigaan Makassar menunjukkan betapa Kompeni mewaspadai kemungkinan penyatuan politik dua kerajaan di Pulau Sumbawa melalui ikatan perkawinan.
Wafatnya Raja dan Kontroversi Ratu Bima
Puncaknya terjadi pada Sabtu malam, 9 Juli 1791, ketika Raja Sumbawa benar-benar wafat akibat penyakit sesak dada. Tanpa laporan resmi mengenai pengganti, Residen Meurs segera mengetahui bahwa putri tertua raja, yang juga merupakan istri dari Sultan Bima, dinobatkan sebagai penguasa.
Menurut laporan yang diterima Meurs, pengangkatan itu sah "sudah sesuai dengan ketentuan jika tidak tersedia pewaris laki-laki" dan diterima baik oleh rakyat. Namun, pandangan Batavia sangat berbeda dan tegas menolaknya:
“Mereka tidak menginginkan permaisuri dari Bima untuk menjadi penguasa mereka, karena alasan keterkaitannya dengan Raja Bima. Juga dikatakan bahwa menurut adat dan hukum Sumbawa… seorang perempuan tidak dapat dan tidak boleh memerintah negeri.”
Penobatan ini, yang secara adat diklaim sah, bertentangan dengan kepentingan politik Kompeni yang tidak ingin dominasi Bima di Sumbawa menguat.
Sumbawa di Persimpangan Jalan: Perseteruan Dua Faksi Lama
Masalah kian rumit ketika Nene Ranga, pejabat tertinggi yang selama ini menjembatani hubungan dengan Kompeni, wafat pada 30 Juli 1791, hanya berselang beberapa hari setelah Raja Sumbawa.
Kekosongan jabatan Ranga memunculkan dua faksi lama yang memperebutkan kekuasaan:
Faksi Lalu Muhammad/Taliwang: Diwakili oleh Mekal Samede dan Lalu Muhammad. Lalu Muhammad adalah putra dari Raja sebelumnya (Muhammad Mustafa/Mappatjonga), namun ia terhalang tahta karena lahir di luar pernikahan yang sah. Faksi ini ingin kembali berkuasa.
Faksi Datu Bodi/Jereweh: Diwakili oleh Datu Bajing di Alas dan Mapin. Faksi yang didukung oleh Makassar dan Kompeni di masa sebelumnya, dan faksi inilah yang menyingkirkan Lalu Muhammad dari takhta.
Batavia secara spesifik mewanti-wanti potensi konflik besar, mengingatkan pada peristiwa pahit perebutan kekuasaan antara Pangeran Taliwang dan Datu Jereweh di masa lalu.
Bayang-Bayang Melle Ropia dan Dilema Kompeni
Penelusuran silsilah yang dikirimkan Kerajaan Sumbawa kepada Kompeni mengungkapkan akar masalah yang lebih dalam, terkait garis keturunan Melle Ropia (Anggawasita).
Raja Sumbawa yang baru wafat (Datu Bodi) menikahi janda Melle Ropia. Dari perkawinan itu lahir putri yang dinobatkan sebagai raja (Datoe Dara Tans, istri Sultan Bima). Namun, dari pernikahan sebelumnya dengan Melle Ropia, perempuan itu memiliki tiga anak lain, termasuk Lala Ropia yang menikah dengan Mele Ringgi.
Menurut adat Sumbawa, keturunan Melle Ropia "sah untuk dipilih sebagai Nene Ranga." Ini berarti garis keturunan Melle Ropia berpotensi menguasai takhta (melalui Datoe Dara Tans) dan jabatan Ranga (melalui anak-cucunya) secara bersamaan.
“Sekarang perlu saya tekankan betapa pentingnya untuk tidak memberikan kekuasaan lebih kepada garis keturunan Melle Ropia.” — Catatan Batavia.
Kompromi Setengah Hati ala Kompeni
Menghadapi persaingan sengit dan kewajiban untuk menjaga kontrak dagang (terutama pasokan kayu sappan), Residen Meurs menyusun strategi kompromi untuk memecah kekuasaan:
Mekal Samede diabaikan sama sekali untuk mencegah kebangkitan faksi Taliwang.
Adipati yang secara adat tidak bisa menjadi Ranga diangkat sebagai Enti Desa (Wakil Ranga).
Jabatan Ranga diberikan kepada Mele Ringgi, cucu dari seorang Ranga terdahulu, yang ironisnya adalah menantu dari Melle Ropia.
Meurs berharap pengaturan ini menciptakan keseimbangan: "tidak seorang pun akan memegang kekuasaan penuh, dan keduanya akan selalu saling membutuhkan." Dengan kata lain, Kompeni memilih menengahi dan membagi jabatan agar tidak satu faksi pun memegang kendali mutlak.
Namun, di tengah intervensi yang hati-hati ini, Batavia menegaskan bahwa Kompeni harus bertindak "lebih bijaksana bertindak sebagai penasihat dan penengah, daripada sebagai pihak yang memberi perintah."
Pada akhirnya, krisis suksesi 1791 memperlihatkan rapuhnya struktur politik Sumbawa yang terbelah. Raja baru yang dinobatkan dari Bima, ditambah keharusan adat memilih Ranga dari garis keturunan yang sensitif, menjadi ladang ranjau politik. Sebagaimana dicatat oleh Residen Meurs, negeri itu tetaplah "sebuah kerajaan yang mengkhawatirkan," dan pemerintahan yang baru tidak akan stabil.