USM7uKzrSsmCaVoTHNCgNHTLw5k8mZOpxmzx7nna
Bookmark

Islamisasi dan puncak kejayaan

Islam datang ke Bima antara tahun 1450-1540, dengan Sultan Abdul Kahir sebagai sultan pertama yang memeluk Islam, dibawa oleh mubalig dari Makassar.
Helius Syamsuddin mengaitkan kedatangan Islam di Bima dengan kejayaan Malaka (1400-1511 M). Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511, para saudagar Muslim yang juga mubalig mencari daerah baru atau kembali ke Jawa/Sumatera, dan di antaranya ada yang singgah di Bima dalam perjalanan dari Jawa ke Maluku atau sebaliknya. Rute pelayaran-perdagangan ini melewati Jawa dan Bima, menjadikan Bima sebagai bandar penting.
Saluran Islamisasi di Bima
  1. Islamisasi di Bima berlangsung melalui beberapa saluran utama:Perdagangan: Posisi Bima yang strategis pada rute pelayaran-perdagangan antara Malaka dan Maluku memungkinkan para pedagang Muslim dari Malaka, Sumatera, dan Jawa menyebarkan Islam di tempat-tempat yang disinggahi. Keberadaan permukiman orang Melayu (Kampo Melayu) di Bima, yang dikenal sebagai pusat studi Islam, menunjukkan peran penting mereka sebagai pedagang sekaligus perantara penyebaran Islam dan budaya Melayu.
  2. Para mubalig memainkan peran krusial. Beberapa sumber menyebutkan Islam dibawa ke Bima oleh Datuk Dibandang dan Datuk Ditiro, yang juga dikenal sebagai pembawa Islam di Kerajaan Goa dan Tallo. Mereka diduga adalah orang Melayu dari Sumatera yang datang sebagai utusan Sultan Goa untuk menyebarkan Islam dan menjadi guru agama Sultan Abdul Kahir.
  3. Perkawinan: Hubungan perkawinan antara elit penguasa Bima dan Sumbawa dengan putri bangsawan Sulawesi Selatan, seperti perkawinan Sultan Abdul Kahir dengan adik ipar Sultan Goa, memperkokoh hubungan politik dan turut mendukung penyebaran Islam.
  4. Kekuatan Militer/Politik: Noorduyn berpendapat bahwa Islam juga dibawa ke Bima dengan kekuatan senjata oleh orang-orang Makassar setelah Goa menjadi Muslim (1605-1611). Kronik Goa mencatat bahwa Bima, Dompu, dan Sumbawa ditaklukkan oleh Karaeng Matoaya, perdana menteri Kerajaan Goa. Ekspedisi militer Makassar ke Bima terjadi beberapa kali antara tahun 1618 hingga 1632/33. Peristiwa ini juga didukung oleh sumber VOC yang mencatat kehancuran di Bima akibat serangan pasukan Makassar.
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam
Bima muncul sebagai pusat kekuasaan Islam ketika raja Bima yang ke-15, Sultan Abdul Kahir, memeluk agama Islam pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 1030 Hijrah (7 Januari 1621 M). Peristiwa ini terjadi tidak lama setelah ekspedisi militer kedua Goa pada tahun 1619. Islamisasi di Bima juga didorong oleh faktor sosial politik, di mana terjadi perebutan kekuasaan di antara keluarga kerajaan yang kemudian meminta bantuan Kerajaan Goa.
Setelah Raja Bima memeluk Islam, gelar "sangaji" diganti dengan "sultan", dan para "Ncuhi" menjadi "gelarang". Sultan Abdul Kahir (memerintah 1630-1640) dikenal sebagai peletak dasar agama Islam di Bima. Ia disejajarkan dengan Sultan Alaudin dan Sultan Malikul Said dari Goa dalam penyebaran Islam dan perlawanan terhadap VOC.

Kesultanan Bima mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajudin (1640-1682) dan penggantinya, Sultan Nurudin Abubakar Syah (1682-1687). Pada masa ini, terjadi penyesuaian hukum adat dengan hukum Islam, perluasan penyiaran Islam, penyempurnaan Kitab Catatan Harian Kerajaan (Bo) dalam huruf Arab dan bahasa Melayu, serta penetapan hari-hari besar Islam sebagai hari raya kerajaan.
Sultan Abdul Khair Sirajudin dikenal sebagai "palita agama" (pelita agama) karena perannya dalam memperluas syariat Islam. Ia juga bersekutu dengan Sultan Hasanudin dari Goa dalam menentang Belanda. Meskipun Bima akhirnya berada di bawah kekuasaan VOC setelah Perjanjian Bongaya (1667), pemerintahan tradisional tetap berjalan, kecuali dalam masalah ekonomi dan perdagangan yang dimonopoli VOC.

Pada masa Sultan Nurudin, para mubalig dari Sumatera, Banten, Sulawesi, bahkan Malaka dan Arab berdatangan ke Bima, dan beberapa di antaranya diangkat sebagai pejabat kerajaan, seperti Syaikh Umar al-Bantami yang menjadi mufti istana.
Kesultanan Bima terus berlanjut hingga Sultan Muhammad Salahudin sebagai sultan ke-14 dan terakhir, yang wafat pada tahun 1951. Kesultanan Bima secara resmi berakhir dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang penghapusan daerah-daerah Swapraja.
Bangunan Cagar Budaya

Eksistensi Bima sebagai pusat Islam di masa lalu dibuktikan dengan keberadaan sejumlah Bangunan Cagar Budaya dan Benda Cagar 
Budaya, antara lain:
  1. Makam Dantraha (Dana Taraha): Tempat dimakamkannya Sultan Abdul Kahir, sultan Bima pertama.
  2. Makam Tolo Bali (Makam Gili Pandan): Pemakaman umum yang juga menjadi tempat peristirahatan Sultan Abdul Khair Sirajudin, Sultan Nurudin Ali Syah, Sultan Jamaludin, dan Syaikh Umar al-Bantami.
  3. Makam Kampung Sigi: Tempat dimakamkannya beberapa sultan Bima dan tokoh penting lainnya, berlokasi di halaman belakang masjid kerajaan Bima yang dibangun pada tahun 1737 M.
  4. Asi Bou (Istana Baru) dan Asi Mbojo (Istana Bima): Dua bangunan bekas istana sultan yang berdampingan. Asi Mbojo kini berfungsi sebagai Museum Daerah Bima, menyimpan berbagai koleksi peninggalan kerajaan.
Secara keseluruhan, masuknya Islam ke Bima merupakan proses yang kompleks dan multi-saluran, yang pada akhirnya membentuk Kesultanan Bima menjadi kekuatan Islam yang berpengaruh di kawasan Nusa Tenggara, dengan warisan sejarah dan budaya yang masih terlihat hingga kini.
Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.
Posting Komentar