USM7uKzrSsmCaVoTHNCgNHTLw5k8mZOpxmzx7nna
Bookmark

Upacara Adat



Kehidupan adat di daerah Kabupaten Biina diwarnai oleh  berbagai upacara sejak kelahiran sampai kematian.  Pada abad-abad yang lalu, terutama di kalangan kehidupan istana, upacara adat merupakan peristiwa yang sangat penting  yang melibatkan pihak istana maupun pihak rakyat jelata. Di antara sekian banyak upacara adalah upacara perkawinan yang paling menonjol disebut-sebut dalam naskah di samping upacara khitanan, potong gigi dan kelahiran. 

3.1 Adat Perkawinan 

Perkawinan menurut Adat Daerah Bima diinulai dengan dilamarnya seorang gadis oleh seorang pria, yang dilakukan oleh keluarga pihak pria, bukan orang tuanya sendiri melainkan paman ataupun orang yang dipercayai oleh keluarga. Secara berturut-turut acara meminang tersebut diawali dengan mengutus seorang utusan oleh pihak pria untuk menanyakan apakah si gadis dalam keadaan kosong atau tidak bertunangan. Bila ternyata masih belum bertunangan, maka diutuslah secara resmi utusan untuk melamar si gadis tersebut, acara melamar ini disebut Panati. Apabila lamaran itu diterima oleh pihak si gadis, maka terjadilah si gadis dengan si pemuda dalam keadaan Wi'i nggahi (terikat). Pada hari yang ditetapkan, pertunangan diresmikan dalam suatu upacara Pita nggahi. Kemudian daripada itu diadakan rundingan mengenai mahar dan waktu perkawinan. Setelah ada kesepakatan kedua belah pihak maka diadakan upacara Pengantaran Mahar atau Wa 'a Co 'i, beberapa waktu sebelum hari perkawinan. Acara pokok adalah upacara perkawinan. Upacara ini terbagi dua, yaitu upacara Akad Nikah, yang dilakukan di rumah pihak wanita, setelah pada malam sebelumnya diadakan acara Kapanca (memberi atau menghias daun pacar yang digiling halus pada jari-jari tangan dan kaki pengantin), dan upacara bertemu pengantin sebagai puncak acara. Acara ini disebut Londo Dende, di mana pengantin pria diantar dengan ramairamai oleh keluarga dan handai tolan, dengan diiringi nyanyian rebana Hadrah, ke tempat pengantin wanita. Pengantin pria mengenakan pakaian adat pengantin. 

Di tempat pengantin wanita pengantin wanita dipersiapkan berpakaian adat pengantin dan duduk di atas pelaminan yang dihias dengan hiasan atau ornamen-ornamen tradisional. Duduknya di bawah (di atas kasur berhias) dengan cara bersimpuh menuru t adat Bima Dodo Tuku Tatu 'u. Ia didampingi oleh seorang inang pengasuh dan dua orang putri remaja dari keluarga dekat yang berfungsi untuk mengipas, selain itu duduk pula dua orang anak laki-laki atau perempuan yang membawa alat penginang. Di muka pelaminan duduk berbaris berhadap-hadapan putri-putri remaja yang membawa lilin berhias. Dibelakang dan di samping mereka duduk para tamu ibu-ibu atau bapak bapak. Orang tua pengantin wanita duduk di sebelah pelaminan. Ruangan tersebut di atas dibatasi dengan suatu tirai adat namanya Dindi Ra-Iara berwarna-warni. Biasanya dipakai warna merah, hijau, kuning dan putih. Pada saat pengantin pria dan rombongan naik atau masuk ke ruangan, mereka berhenti di depan tirai. Terjadilah semacam dialog pendek antara pengantar (bapak-bapak) pengantin pria dengan penjaga tirai (bapak-bapak) pihak wanita. Setelah diserahkan uang pelumas dan sirih pinang, barulah tirai dibuka oleh ibu-ibu dari pihak wanita dari dalam tirai dan disambung dengan taburan beras kuning. Masuklah pengantin pria dikawan oleh dua orang bapak atau ibu yang. berhenti di depan pelaminan. Pengantin pria melangkah naik ke pelaminan dan menancapkan setangkai kembang ke atas gelung pengantin wanita yang duduk membelakangi. Pengantin wanita mencabut kembangnya dan membuangnya (ini dilakukan tiga kali). Acara in"i disebut Nenggu. Setelah neggu pengantin wanita berbalik dan sama-sama duduk berhadapan kemudian pengantin wanita sujud atau salaman kepada pengantin pria. Selanjutnya mereka duduk bersanding untuk disaksikan oleh para undangan dan handai tolan. Keesokan harinya kedua pengantin melaksanakan acara mandi yang disebut dengan boho oi ndeu di mana kedua pengantin duduk berdampingan, menduduki suatu alat tenun lira namanya, sedangkan badan mereka dililit dengan untaian benang tenun dari kapas putih, sebagai lambang ikatan suci, kemudian dilakukan siraman dengan air wangi-wangian. Acara mandi untuk calon pengantin wanita dilakukan juga sebelum upacara perkawinan, yakni pada pagi hari sebelum acara Kapanca. Mandi ini disebut boho oi mbaru yang artinya memandikan atau menghapus kegadisan bagi sang calon pengantin wanita. Setelah mandi diselenggarakan acara Boru atau cukuran yaitu mencukur dahi sang pengantin wanita menurut bentuk dandanan yang diperlukan. 

Pada hari ketiga pengantin wanita diboyong ke rumah pengantin pria dalam acara yang disebut Lao Leka. Di tempat pengantin pria diadakan acara Pamaco, di mana kedua pengantin diperkenalkan kepada para undangan yang secara satu per satu menyampaikan sumbangan, entah uang atau barang, bahkan secara simbolis menyerahkan seuntai tali apabila hadiahnya hanya merupakan seekor kerbau.

Sekarang acara Pamaco disesuaikan dengan keadaan dan dijadikan satu dengan acara Londo Dende atau bertemu pengantin. 

3.2 Upacara Khitanan 

Pada masa anak laki-laki berusia enam atau tujuh tahun 

sampai berumur dua belas tahun diselenggarakan khitanan 

terhadap mereka. Upacara ini biasanya disebut Suna (suna = khitan, berasal dari kata sunat}. Upacara suna merupakan upacara besar karena menyangkut anak laki-laki yang menurut adat mempunyai kedudukan yang lebih penting daripada anak perempuan (sistem patriaschat). Biasanya upacara khitanan yang dilakukan untuk anak laki-laki digabungkan dengan khitanan adik perempuannya yang berumur lebih muda (umur khitanan bagi anak perempuan biasanya tiga sampai dengan enam tahun). 

Anak laki-laki yang dikhitan itu dikenakan pakaian adat seperti pakaian kebesaran Pejabat-pejabat Hadat Kerajaan Bima, yaitu bercelana panjang dengan dada terbuka, songkok bundar terbuat dari tanduk dihias kembang-kembang di bagian belakang. Songkok ini disebut Songko Lanta. Di dada dikalungkan Kawari besar (hiasan logam emas atau perak berbentuk bundar) dan seluruh bagian dada dan belakang anak tersebut dicat dengan tepung atau bedak yang bergambar titik-titik segi empat yang teratur. Acara khitanan dilakukan secara bersama sama antara anak laki-laki sekeluarga dan atau lain-lain yang ikut serta yang tidak mampu mengadakan upacara sendiri. 

Upacara khitanan ini dilakukan selama dua hari: 

a) Pada hari pertama pada malam hari dilakukan upacara Kapanca sama halnya dengan upacara Kapanca untuk pengantin. 

b) Keesokan harinya pada waktu petang anak-anak yang akan dikhitankan itu didudukkan berjejer di tengah-tengah para undangan dengan pakaian yang seperti diuraikan di atas tanpa mengenakan keris. Pada saat itulah dilangsungkan acara Compo Sampari (Compo = menyarungkan, Sampari = keris) yaitu acara memakaikan keris kepada anak yang dikhitan. Tujuannya adalah memberikan hak untuk memakai keris kepada anak laki-laki dan dengan demikian menanamkan rasa harga diri dan keberanian sebagai seorang pria yang "kesatria" yang harus berani menantang segala cobaan. 

Menurut adat, yang melakukan Compo Sampari kepada anak-anak tadi adalah orang-orang tua tokoh terhormat yang berpangkat, kemudian bergilir berikutnya oleh orang-orang tua yang dianggap dihormati dan disegani di kampung itu. 

Sebelum Compo Sampari terhadap seorang anak, oleh bapak Penghulu diucapkan salawat Rasulullah tiga kali. 

Setelah selesai maka anak-anak tersebut dikeluarkan dari 

ruangan, sedangkan perlengkapan pakaiannya tadi dibuka dan 

digan ti dengan sehelai sarung biasa berwama kuning un tuk 

menanti pelaksanaan Khitanan. 

Sebagai awal acara khitanan, diadakan pembacaan doa 

selamat yang kemudian disusul dengan jamuan makan. Setelah 

selesai jamuan makan, para undangan dipersilakan untuk 

menyaksikan bersama pelaksanaan khitanan anak-anak ter

sebut. 

Dengan diiringi gendang dan seruling yang mengasikkan, 

dimulailah acara khitanan.itu. Adapun lagu gendang dan seruling tadi adalah lagu dengan irama khusus untuk khitanan, yaitu irama yang bersemangat keberanian, dengan maksud untuk memberi semangat kepada si anak hingga ia tidak merasa kesakitan. Selain daripada itu bunyi gendang dan seruling akan menutup tangis atau rintihan si anak apabila ada. Selesai dikhitan, kepada si anak diberi makanan telur rebus dan nasi kadar sapore (segenggam). Nasi segenggam inilah oleh orang Bima disebut Oha Sapore yang dianggap sebagai obat. Dan sampai sekarang oha sampore masih merupakan suatu simbol kekuatan dan kesehhatan bagi seseorang yang sakit. 

Setelah selesai khitanan, maka dimulailah acara Maka yaitu semacam bertukas (menari keris). Diawali oleh seorang yang berbadan tegap maju ke depan dengan memegang keris terhunus, membentak-bentak, bertepik-tepik dengan muka yang garang dan galak di hadapan orang banyak, sambil ber tukas dengan kata-kata semboyan yang bersemangat dan menunjukkan keberanian dan kejantanannya. Itulah pembukaan acara yang kemudian diikuti Maka oleh si anak yang dikhitan. 

Demikian pula semua anak-anak yang dikhitan masing-masing mendapat gilirannya. Dalam pada itu bunyi gendang dan seruling bertambah semangat, sehingga menyebabkan beberapa orang yang hadir terangsang dan secara spontan melakukan 

Maka secara berganti-ganti, dengan tukas dan kata-kata serta semboyan-semboyan keberanian yang beraneka ragam disertai gerak-gerik masing-masing. 

Pada zaman dahulu, pada masa upacara Compo Sampari, dilaksanakan pula acara Ndoso, yaitu memotong gigi. Adapun caranya yaitu si anak menggigit sekerat batang jarak, kemudian oleh kepala desa, penghulu dan satu dua orang tua lainnya, berganti-ganti menggosokkan pecahan periuk pada keratan jarak yang digigit tadi (memotong gigi secara simbolis). Adapun maksudnya ialah untuk merawat dan memelihara kekuatan dan keindahan gigi. Setelah acara potong gigi kemudian disusul dengan acara Compo Sampari. Acara Ndoso sekarang ini sudah jarang dilakukan, hanya Compo Sampari saja yang masih tetap merupakan acara ·dalam rangka khitanan. 

Seperti biasanya juga dalam upacara perkawinan selama hari-hari berlangsungnya pada upacara khitanan diadakan permainan pencak silat dan penabuhan bunyi-bunyian dan nyanyian Bima Rawa mbojo di halaman rumah. 

3.3 Upacara Saraso 

Pada umur tiga tahun seorang anak perempuan sudah dapat dikhitan. Upacara khitanan anak perempuan disebut Saraso. 

Upacara Saraso ini biasanya hanya dihadiri oleh para ibu dan tamu wanita dengan diawali do'a dan salawat yang dipimpin oleh seorang penghulu atau lebai. Upacara ini dilaksanakan oleh seorang Sando atau perempuan yang memang terbiasa mengkhitan anak perempuan (dukun). Saat itu si anak sudah diberi bekal kekuatan oleh dukun dan disiapkan dengan berpakaian adat untuk anak-anak, yaitu memakai sarung wama kuning dengan dada dihiasi kawari dan bermacam-macam kalung (kondo randa i dan gelang Pawala (motik-motik). 

Setelah selesai dikhitan, si anak dimandikan dan disiapkan untuk acara berikutnya, yaitu acara Compo baju artinya pemakaian baju adat untuk pertama kali. Acara ini sama dengan pemakaian keris untuk anak laki-laki. Waktu dahulu, seorang wanita diberi hak untuk berpakaian adat dengan adanya acara compo baju pada waktu dikhitan sebagaimana halnya dengan compo sampari untuk anak laki-laki yang mempunyai arti memberi hak padanya untuk boleh memakai senjata sampari  (keris). 

Sampai sekarang acara compo baju dan compo sampari masih dilakukan. 

3.4 Upacara Ka'pua atau Sirihpuan 

Untuk memperingati hari Maulid Nabi Besar Muhammad saw., pemerintah Kerajaan Bima mengadakan upacara Maulud Nabi pada setiap bulan Rabi'ul Awal dengan berbagai acara awal sampai dengan acara puncak yang dinamakan upacara 

Han ta Ka 'pua. 

Menjelang tanggal 12 Rabi'ul Awal tiap tahun diselenggarakan zikir Baca Maulud yang dilakukan oleh para santri dari berbagai kampung. Zikir ini mengiringi pula pemotongan daun daun pandan wangi secara tipis dan halus dengan peralatan khusus yang dibuat dari kayu. Daun pandan dicampur dengan bunga-bunga dan wangi-wangian untuk dipakai pada upacara Ka'pua dan untuk dibagi-bagi sebagai berkah, disebut Bunga Maulud. 

Pada malam tanggal 11 Rabi 'ul Aw al diadakan upacara  adat, yaitu Musyawarah Hadat yang diikuti oleh seluruh pen jabat Hadat dengan berpakaian Upacara Besar Adat Agama. 

Upacara ini disebut doho sara yakni suatu rapat Hadat lengkap untuk memperingati Maulud Nabi Muhammad saw. dengan do'a dan zikir berjanji. 

Hidangan yang disajikan pada saat itu adalah khas Oi Sareba yaitu minuman air rempah-rempah diutus dengan gula putih (semacam serbat) dan kue apam putih yang disajikan bersama daging ayam opor dan dipotong kecil-kecil. 

Bunga Maulud diedarkan kepada hadirin sebagai berkat dan pengharum suasana. 

Acara puncak adalah acara Ranta Ka'pua atau sirihpuan Ialah acara mengangkat (hanta) mahligai besar yang berisikan sirihpuan dan delapan orang penari (empat putera dan empat puteri) beserta dengan inang pengasuhnya dan diiringi oleh kepala penghulu Melayu dengan berpakaian adat Melayu. 

Acara ini sudah dilakukan sejak tahun 1620/1630-an sebagai pengukuhan perjanjian persahabatan pada awal ma

suknya agama Islam di Bima, oleh para pendekar Islam asal dari daerah Sumatra, Datuk di Banda dan Datuk di Tiro, dengan 

Sultan pertama yang memeluk agama Islam yaitu Sultan Abdul  Kahir. Untuk tetap mengingatkan Sultan berikutnya Sultan Abil 

Khair Sirajuddin kepada ajaran-ajaran Agama Islam, oleh keturunan datuk-datuk tersebut. Diadakanlah acara ramai ramai memperingati maulud Nabi Muhammad saw dengan berbagai tarian-tarian dan acara-acara lainnya yang menarik. 

Dan sebagai tanda hormat kepada raja (yang setelah Islam disebut sultan), Ka'pua tersebut diusung oleh rakyat banyak berjalan dari kampung Melayu ke istana sultan. Di depan istana sudah hadir barisan-barisan penyambut, berbagai jenis barisan berkuda, Jara Wera (kuda kecil dengan penunggang umum), .barisan berkuda kerajaan dan barisan kuda menari Jara Sara 'u disertai barisan penari Sere (tarian prajurit) dan 

Kanja. Sementara itu mahligai Ka'pua diputar-putar dan berhenti di tangga istana, di mana sultan sudah menunggu dengan tamu-tamu dari berbagai daerah tetangga sampai dari Flores, Sumba dan Timor. 

Upacara diakhiri dengan pengerahan upeti Sirihpuan dari penghulu Melayu kepada Sri Sultan Bima dan persembahan Tarian Lenggo Melayu dan Lenggo mBojo.

Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.
Posting Komentar