USM7uKzrSsmCaVoTHNCgNHTLw5k8mZOpxmzx7nna
Bookmark

Catatan Perjalanan Ke Sanggar 1848

 



Catatan Perjalanan Zollinger Di Kerajaan Sanggar Tahun 1848

Pada tanggal 7 Agustus aku berangkat lebih awal ke Sanggar. Jalan yang dilalui melewati pegunungan Doro (Sirih), dan kemudian di sisi lain melewati daerah berbukit, yang sebagian besar ditutupi oleh alang-alang

Aku tiba agak larut malam di Sanggar. Dahulunya pusat kerajaan berada di pantai, tetapi sekarang telah dipindahkan dan terletak di balik lembah yang sempit dan dalam. Tempat ini dihuni oleh hanya 40-50 keluarga. Mereka baru saling berkumpul satu sama lain dalam beberapa tahun belakangan, untuk membentuk seluruh populasi Kerajaan. Raja adalah seorang anak laki-laki berusia 13 tahun. Sekarang masih tinggal di desa nGembé di Kerajaan Bima. Sebuah Istana sedang dibangun untuknya. Jadi dia akan kembali tahun ini dan hidup bersama rakyatnya untuk selamanya. 

Aku akan mendaki puncak Tambora dari Sanggar. Inilah tempat terdekat yang berpenghuni yang berada di kaki gunung Tambora. Kerajaan ini tidak memiliki cukup penduduk untuk dapat menemaniku melakukan pendakian. 

Aku menghabiskan waktu selama tanggal 8 untuk menyusuri bukit-bukit yang mengelilingi lembah ini. Sementara di desa sedang  dipersiapan segala yang akan menjadi kebutuhanku melakukan pendakian. Tapi aku tidak akan menjelaskannya tentang oendakian di sini. Aku akan menjelaskan tentang pendakianku ke puncak Tambora di bab lain setelah menggabungkan segala hal yang aku baca, aku dengar dan aku lihat sendiri di gunung Tambora. 

Pada tanggal 13 Agustus aku telah kembali dari puncak Tambora. Untuk sementara aku tinggal di Desa Uden, sebuah desa yang masih berada di sekitar pusat Sanggar. Kerajaan Sanggar dikendalikan oleh Raja Bicara, seorang laki-laki yang pemalu dan tertutup. Usianya mungkin 40-50 tahun. Aku kemudian menyerahkan surat tugasku secara peribadi kepadanya, yang lalu ia sambut dengan 21 kali letusan senapan, itu karena kerajaan ini tidak memiliki Meriam. 

Oleh karena itu, Raja Bicara memintaku untuk menyampaikan kondisi Kerajaan Sanggar kepada pemerintah,  tentang kemiskinan dan berbagai kesusahan negeri itu. Ia pun meminta atas nama dirinya dan kerajaan, agar pemerintah berkenan memberikan mereka sebuah Meriam.  Hal itu agar bisa tidak hanya digunakan untuk menyambut tamu terhormat, tetapi juga sebagai senjata untuk membela diri dari serangan perompak. 

Pada tanggal 15 Agustus aku meninggalkan Sanggar dan pergi ke Bango yang masuk dalam wilayah kerajaan Dompo. Di sana aku sudah ditunggu oleh seorang utusan Sultan Dompo yang menyambutku untuk memberikan ucapan selamat dan merayakan atas sukses pendakianku ke puncak Tambora. 

Aku menyampaikan pesan terimakasih kepada Sultan Dompo, tetapi aku menolak untuk menerima penghormatan, seperti membasuh kaki dan persembahan lainnya yang ditujukan untukku.

Berita tentang pendakianku ke puncak Tambora sudah menyebar ke seluruh negeri. Hal itu membuatku dijuluki sebagai Tuan Keramat (orang sakti). Orang menganggap bahwa jika aku bukan orang sakti, maka tidak akan mungkin bisa sampai ke puncak Tambora. Itu karena sebelumnya sudah banyak yang mencoba melakukan pendakian, tetapi semuanya gagal. Aku mengatakan kepada utusan Sultan Dompo bahwa kehormatan dan segala puji hanya milik Toehan Allah. Seandainya Dia tidak menolongku, aku tidak akan pernah bisa sampai ke puncak gunung itu. Ucapanku itu ternyata sangat mengena dan menyentuh hati utusan Sultan. Pesta merayakan sukses pendakian itu dilakukan dengan memotong hewan dan memakan jintan. 

Pada tanggal 16 aku melanjutkan perjalanan ke Kowanko, sebuah desa terakhir di bagian barat kerajaan Dompo. Perjalanan sehari ini adalah yang tersulit dari seluruh perjalananku.

Pertama, aku melintasi gunung Hoeroe Bangie, yang lereng baratnya curam hampir, hampir tegak lurus sementara ombak teluk Sumbawa terus menghatam. Kemudian kami jalan menyusuri pantai di sepanjang bebatuan yang sangat dekat dengan laut, sehingga jalan ini tidak bisa dilewati saat air pasang. Setelah itu, kami melewati tiga atau empat teluk yang berbeda di sepanjang teluk Sumbawa. Di antara teluk-teluk kecil ini, kami melewati bukit-bukit berbatu yang sebagian besar ditanami bambu berduri yang tak berdaun, sehingga kami tak bisa melindungi diri dari teriknya sinar matahari. Tidak ada desa atau rumah, tidak ada mata air. Sungai-sungai airnya asin karena di muara. Kami harus pergi jauh ke pedalaman untuk mendapatkan air tawar. Setelah tengah hari, kami tiba di Kowanko, sebuah desa kecil yang berjarak sekitar setengah jam dari teluk. Ini adalah desa terakhir di sebelah barat kerajaan Dompo. Desa ini baru saja sedang dibangun  untuk dihuni kembali, setelah sebelumnya ditinggalkan dalam waktu yang sangat lama akibat letusan gunung Tambora.

Keesokan harinya aku melanjutkan perjalanan menuju Matta, ini adalah desa pertama yang masuk dalam wilayah Kerajaan Sumbawa. Secara lokasi, hubungan kekerabatan dan bahasa penduduknya, sejatinya desa ini harusnya termasuk dalam wilayah Dompo. Perjalanan dari Kowanko menuju Matta dilalui dengan menyusuri sungai dan melintasi hutan tandus yang berjarak 22 jam perjalanan. 

Antara Matta dan Laut Selatan dipisahkan oleh sebuah punggung bukit. Dari situ seseorang dapat mencapai laut selatan dalam waktu 1½ jam. Di sinilah daratan yang paling sempit, dan di sinilah dua bagian tanah Bima disatukan oleh tanah sempit yang lebarnya hampir tiga jam.


_*Bersambung Menuju Sumbawa,,,*_

(Ustad Suryo)
Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.
Posting Komentar