Peralihan Sitem Pemerintahan Menjadi Sistem Swapraja
Kekuasaan Asing dan Upaya Otonomi Lokal
Sebelum kemerdekaan, Kesultanan Bima, meskipun berstatus jajahan Belanda dan Jepang, tetap mempertahankan struktur pemerintahannya. Ketika Jepang berkuasa (setelah Belanda), sistem pemerintahan lokal dikembalikan, di mana kekuasaan dipegang oleh Sultan yang dibantu oleh Majelis Tureli. Namun, Sultan harus tunduk kepada otoritas Jepang dalam menjalankan roda pemerintahan sehari-hari.
Di tengah suasana politik yang kacau, Sultan Muhammad Salahuddin menunjukkan perhatian besar terhadap perkembangan agama. Secara diam-diam, Sultan membentuk badan otonomi dari Hadat Kerajaan Bima yang berfungsi mengurus dan mengawasi aktivitas keagamaan, yaitu Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima.
Menyambut Proklamasi Kemerdekaan
Momen penting terjadi pada tahun 1945. Menyusul kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, di mana Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Berita proklamasi kemerdekaan yang dibacakan oleh Soekarno-Hatta, baru tiba di Kesultanan Bima pada 2 September 1945. Berita ini dibawa oleh utusan Gubernur Sunda Kecil, I Gusti Ketut Puja, yang terdiri dari putera-putera Bima di Singaraja, termasuk Muhtar Zakaria, Majid Datuk, dan tokoh lainnya. Sultan Muhammad Salahuddin dan para tokoh Bima menerima berita ini dengan gembira dan mendukung sepenuhnya isi Proklamasi.
Manifestasi Dukungan Resmi
Dukungan Kesultanan Bima diwujudkan melalui dua peristiwa penting:
Pengibaran Bendera Merah Putih (31 Oktober 1945): Bendera Merah Putih yang diperoleh dari Bung Karno dikibarkan di halaman Istana Kesultanan Bima.
Maklumat Sultan (22 November 1945): Sultan Muhammad Salahuddin mengeluarkan maklumat resmi yang isinya menegaskan sikap Kesultanan Bima, yaitu:
Menyatakan bahwa Pemerintah Kerajaan Bima adalah daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia.
Mendukung penuh Pemerintah Republik Indonesia.
Menegaskan bahwa segala kekuasaan pemerintahan kerajaan kembali ke tangan Sultan.
Dinamika Pasca-Kemerdekaan dan Integrasi
Periode 1945–1957 diwarnai oleh berbagai fluktuasi politik dalam upaya integrasi ke RI.
Perkembangan Administrasi Lokal
Pembentukan Dewan Pulau Sumbawa: Pada pertengahan 1947, didirikan Dewan Pulau Sumbawa yang bertugas memberi nasihat kepada Dewan Raja-raja.
Penyerahan Kekuasaan: Pada 1947, semua hak kekuasaan HPF (Hoofd van Plaatselijk Bestuur) diserahkan kepada Zelfbestuurder (pemerintah swapraja).
Peran Sultan: Pada 26 Maret 1946, kekuasaan Asisten Residen diserahkan kepada ketua Dewan Raja-raja, yaitu Sri Sultan Bima Muhammad Salahuddin.
Pemilihan Rakyat: Pada 1 Januari 1949, anggota dewan kerajaan dan dewan pulau Sumbawa mulai diganti dengan anggota pilihan rakyat melalui pemilihan bertingkat.
Penolakan NIT dan Penggabungan ke RI
Ketidakpercayaan rakyat Sumbawa terhadap pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT) memuncak setelah peristiwa pemberontakan Andi Azis pada April 1950. Sebagai respon, pada 9 Mei 1950, Dewan Raja-raja bersama-sama DPR Pulau Sumbawa mengeluarkan statement yang didukung Ormas/Orpol untuk keluar dari NIT dan menggabungkan diri dengan RI Yogyakarta.
Dampak Peralihan Sistem Pemerintahan
Proses integrasi yang berlangsung hingga 1958 membawa dampak signifikan terhadap Kesultanan Bima:
Bubar dan Hilangnya Tata Hukum Adat: Kesultanan Bima bubar, yang berdampak pada hilangnya Tata Hukum dan Tata Pemerintahan Kesultanan. Sistem tiga pilar pemerintahan (seperti humentisku dan dinas politika) yang telah berlaku sejak abad ke-17/18 juga berakhir.
Adopsi Hukum Positif: Sistem yang diadopsi adalah tata hukum dan tata pemerintahan Republik Indonesia. Hukum yang berlaku adalah hukum positif peninggalan Belanda, yang kemudian menggantikan hukum adat Kesultanan.
Transisi Menjadi Kabupaten Dati Dua: Setelah melalui proses transisi dari Kesultanan menjadi Swapraja, dan dari Swapraja menjadi daerah Swatantra, akhirnya pada tahun 1958, Bima resmi bergabung dengan NKRI dan menjadi Daerah Kabupaten Dati Dua.
Periode 1945–1958 adalah masa penuh dinamika politik yang mengiringi peralihan dari Kesultanan Bima menuju statusnya sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
