Sultan Abdul Qadim
Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah: Transisi, Perjanjian, dan Monumen Islam
Artikel ini membahas masa pemerintahan Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah Zillullahi Fil Alam, Sultan Bima yang dikenal karena upayanya merehabilitasi sejarah dan membangun Mesjid Kerajaan Bima.
Konflik Suksesi dan Penobatan (1759–1765)
Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah menggantikan Sultan Alauddin Muhammad Syah yang wafat tanpa meninggalkan putera mahkota. Berdasarkan ketentuan suksesi, pengganti diambil dari keturunan lurus ke samping (saudara sepupu garis ayah).
Latar Belakang Sultan: Sultan Abdul Kadim (nama asli Sri Nawa) adalah keturunan rakyat biasa dari Desa Adu, Kerajaan Dompu, dari pihak ibunya, Jamila.
Penundaan Penobatan: Penobatan Abdul Kadim sempat ditunda. Menurut notula rapat Raad van Pilitie (Dewan Kepolisian) pada 29 Juni 1759, para pembesar kerajaan (Sara Dana Mbojo) menolak Abdul Kadim dinobatkan karena dianggap tidak menghargai peraturan dan bertindak sewenang-wenang. Penundaan resmi disebabkan Abdul Kadim belum mencapai usia dewasa, sehingga Bicara Abdul Ali ditunjuk sebagai pemangku kerajaan.
Pada usia 22 tahun, Abdul Kadim dinobatkan dengan gelar Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah Zillullahi Fil Alam (Bayangan Tuhan di Bumi).
Perang Manggarai
Sebagai akibat kebijakan Ruma Dua (Paman Sultan Alauddin), Sultan Abdul Kadim harus menghadapi serbuan lasykar Gowa di Manggarai pada tahun 1759. Dengan bantuan serdadu Kompeni, serangan Gowa berhasil dihalau pada tahun 1762, dan Manggarai berhasil dikuasai kembali.
Pada 9 Februari 1765, Sultan Abdul Kadim mengadakan pembaharuan perjanjian dengan Kompeni Belanda.
Perjanjian Wera dan Nilai Patriotisme Sejarah
Sultan Abdul Kadim dikenal karena melakukan pembaharuan perjanjian dengan orang Wera. Perjanjian ini, yang berselang ratusan tahun dari kejadian aslinya, merupakan penegasan kembali atas janji leluhur:
Asal Usul Perjanjian: Dokumen perjanjian Wera adalah pengakuan dan tanda terima kasih dari Jena Teke Abdul Kahir Ma Bata Wadu (Raja Bima pertama yang memeluk Islam, yang kemudian bergelar Sultan) kepada orang Wera.
Kisah Penyelamatan:
Ketika Jena Teke dikejar-kejar oleh lasykar Raja Salisi Rumata Ma Ntau Asi Peka yang ingin membunuhnya (karena Raja Salisi menolak kedatangan Islam di Bima), Jena Teke dalam keadaan darurat berhasil diselamatkan oleh sekelompok orang Wera.
Pengorbanan Rato Waro Bewi: Rato Waro Bewi gugur di Doro Cumpu saat menghadang lasykar Raja Salisi, memberi waktu bagi Jena Teke mencapai Wera.
Bantuan La Buri: Di Wera, Jena Teke dibantu oleh 20 orang Wera di bawah pimpinan La Buri, yang menyediakan 9 perahu untuk menyeberang ke Pulau Sangiang.
Kesetiaan: Setibanya di Sangiang, Jena Teke menyatakan akan mengangkat mereka sebagai "saudara". Ketika Jena Teke memerintahkan mereka kembali karena tugas selesai, La Buri menolak dengan mengatakan, "kami tidak mau melepaskan diri dari naungan dan lingkungan Yang Dipertuan sampai kepada anak cucu."
Implikasi Perjanjian:
Berdasarkan ketulusan dan keberanian ini, Jena Teke menetapkan bahwa:
Orang Wera diangkat statusnya sebagai anggota keluarga istana.
Orang Wera ditugaskan menjadi Dari Suba (pasukan pengawal Sultan dan Kerajaan Bima).
Ketentuan ini bersifat mengikat abadi dan siapa pun yang melanggar akan mendapat kutukan Tuhan.
Sikap Sultan Abdul Kadim memperbarui perjanjian ini dipandang sebagai kearifan sejarah dan rasa hormat yang tinggi terhadap patriotisme rakyat kecil (orang Wera) yang telah menyelamatkan tonggak sejarah Islam di Bima ratusan tahun sebelumnya.
Pembangunan Mesjid Kerajaan di Kampung Sigi
Sultan Abdul Kadim membangun mesjid di Kampung Sigi, Kelurahan Paruga, yang kemudian dikukuhkan sebagai Mesjid Kerajaan Bima.
Bukti Sejarah:
Laporan peneliti Belanda G.R. Rouffaer (1910) menyebutkan mesjid ini dibangun oleh Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah.
Terdapat skripsi emas bertuliskan Arab di serambi mesjid yang berbunyi: "Hedjrat al-Nabi Sallallahu alaihi wassalam sariboe saratoes 49 enam belas hari boelan Dzoelhejah tatkala itu as Sultan Abdul Kadim dan wazir Ismail memboewat ini."
Meskipun terdapat dugaan kekeliruan transkripsi penanggalan (1149 Hijriyah yang setara dengan 1737 M, yaitu 14 tahun sebelum masa pemerintahannya), fakta bahwa Sultan Abdul Kadim adalah pembangun dikuatkan oleh batu nisan makamnya.
Signifikansi Mesjid Sigi:
Mesjid ini merupakan monumen sejarah Islam kedua setelah peristiwa penyelamatan Sultan Abdul Kahir.
Mesjid ini adalah mesjid pertama yang dibangun di ibukota.
Sultan Abdul Kadim adalah orang pertama yang dimakamkan di halaman mesjid tersebut, dengan gelar Rumata Ma Waa Taho (Sultan Pembawa Kebaikan).
Pembangunan dan renovasi berikutnya dilanjutkan oleh Sultan Abdul Hamid. Mesjid ini awalnya beratap susun tiga, mirip dengan arsitektur Mesjid Kudus .
Catatan: Mesjid Sigi hancur total akibat pemboman Sekutu pada Perang Dunia I, dan hanya mihrabnya yang tersisa sebagai kenangan sejarah.
Insiden Penangkapan Batara Gowa II (1767)
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kadim, terjadi insiden yang sempat memicu ketegangan antara Bima dan Gowa:
Latar Belakang: Sultan Batara Gowa II (Mas Madina), putera Sultan Abdul Qudus, datang ke Bima untuk mengambil ibunya, Karaeng Ballasari (adik Sultanah Komala Syah), yang kembali ke Bima setelah suaminya mangkat. Batara Gowa II baru saja meletakkan jabatan karena tidak senang dengan campur tangan Kompeni di Gowa.
Penangkapan: Pada April 1767, Mas Madina ditangkap oleh Residen Bima atas tuduhan bekerja sama dengan Inggris. Ia dibawa ke Batavia dan diasingkan ke Pulau Sailon (Srilanka).
Reaksi Bima: Insiden ini menggusarkan Sultan Abdul Kadim dan Sara Dana Mbojo karena Kompeni sengaja memanfaatkannya untuk menanamkan kecurigaan bahwa Bima terlibat di balik insiden tersebut.
Akhir Pemerintahan
Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah Zillullahi Fil Alam mangkat pada tanggal 31 Agustus 1773 dan dimakamkan di halaman mesjid yang ia bangun sendiri, bergelar Rumata Ma Waa Taho. Langkah sejarahnya dalam membangun mesjid dan merehabilitasi orang Wera berhasil meluluhkan semua riak dan gelombang yang sempat mengguncangkan karya politik dan kehidupan pribadinya.