Masa Era Kerajaan
Di Desa Mbawi, Kecamatan Donggo, Sima masih ada sejumlah peninggalan prasejarah berupa menhir, sedangkan di Rora terdapat beberapa buah lesung batu. Di Pulau Sangeang pernah ditemukan nekara perunggu yang sekarang menjadi koleksi Museum Nasional, Jakarta Menurut para ahli, nekara perunggu dari pulau Sangeang termasuk nekara perunggu yang paling bagus yang pernah ditemukan di Indonesia. Dari bukti-bukti itu dapat ditarik simpulan bahwa pada zaman prasejarah daerah Bima telah dihuni oleh manusia atau masyarakat yang sudah memiliki kebudayaan tinggi. Seperti halnya masyarakat prasejarah, selain berburu dan bercocok tanam mereka juga hidup dari menangkap ikan dan mencari kerang Laut. Asumsi ini dikaitkan dengan keberadaan sejumlah gua di tepi pantai di Kecamatan Wera. Berdasarkan data etnografi diduga masyarakat Bima sebelum Islam seperti halnya orang-orang Donggo yakni penduduk asli daerah Bima yang sekarang bermukim di pegunungan Lambitu dan Soromandi. Mereka memuja pada sejumlah benda yang dianggap mengandung kekuatan gaib. mahluk-mahluk supernatural ( henca ) dan roh-roh nenek moyang yang disebut parafu-pamboro.
Menurut Zollinger, orang-orang Donggo tidak mengenal dewa dalam pengertian agama Hindu. Mereka menguburkan mayat di dalam lubang dengan posisi berdiri, disertai pakaian lengkap seperti cincin, gelang, kalung, bokor dan tutup kepala. Kubur ini kemudian ditutup dengan batu plat, seperti halnya pada makam Padende yang oleh masyarakat sekitarnya dianggap sebagai makam Gajah Mada. Seperti halnya orang-orang Donggo diduga masyarakat Sima pra-lslam terdiri dari berbagai kelompok yang dipimpin oleh kepala-kepala suku mereka yang disebut Ncuhi.
Daerah Bima Tengah dipimpin oleh Ncuhi Dara, Bima Timur oleh Ncuhi Dorowani, Bima Utara oleh Ncuhi Banggapupa, Bima Selatan oleh Ncuhi Parewa dan daerah Bima Barat oleh Ncuhi Bolo
Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, apabila ada persoalan yang menyangkut kepentingan bersama mereka berkumpul untuk musyawarah. Ahmad Amin menyebutkan bahwa kira-kira tahun 1575 datang seorang dari Jawa dan kelima Ncuhi sepakat untuk mengangkat orang tersebut menjadi raja Bima dengan gelar Sangaji.
Menurut Bouman, para Ncuhi itu sebenamya adalah tuan-tuan tanah yang berkuasa di wilayah masing-masing yang kemudiam dipersatukan oleh Maharaja Sang Bima menjadi satu kerajaan yang bercorak kehinduan.
Menurut legenda nama Bima, baik sebagai nama kerajaan atau ibukota diambil dari nama Sang Bima yaitu seorang bangsawan Jawa yang berhasil mempersatukan kerajaam-kerajaan kecil di daerah itu menjadi satu kerajaan yakni kerajaan Bima.
Di dalam legenda itu diceritakan pula bahwa Sang Bima mempunyai kekasih seekor naga dari pulau Sitonda. Naga itu Hamil karena pandangan mata Sang Bima yang tajam dan dari padanya kemudian lahir seorang putri yang cantik bemama Tasi Saring Naga.
Sang Bima lalu mengawini putrinya dan dari perkawinan itu lahirlah Indra Jamrut dan Indra Komala, yang kelak menjadi cikal bakal yang menurunkan raja-raja Bima. Keberadaan pengaruh Hindu, baik agama Hindu maupun agama Budha di daerah Bima dan sekitamya tidak diragukan lagi, sebab hal itu didukung oleh data sejarah maupun bukti-bukti arkeologis. Permasalahannya adalah sejak kapan atau bilamana pengaruh Hindu itu muncul dan apakah kerajaan Bima yang dibangun oleh Sang Bima itu merupakan kerajaan yang berdaulat atau sebuah negara vazal (taklukkan) kerajaan-kerajaan Hindu-Jawa belum dapat dipastikan meskipun data sejarah dan bukti arkeologi yang ditemukan di Bima memberikan indikasi hubungan Bima dengan pulau Jawa. Dalam sumber Cina, Chu-fan chi yang ditulis oleh Chou-ju-kua pada tahun 1225 disebutkan bahwa di antara 15 daerah yang menjadi kekuasaan Cho-po disebutkan nama Ta-kang, yang diduga berlokasi di pulau Sumbawa, Flores atau Sumba. Jika Cho-po indentik dengan Jawa maka tentunya kerajaan berkuasa di Cho-po pada waktu itu adalah kerajaan Kadiri .
Menurut van Naerssen. 81 Kadiri merupakan satu kerajaan maritim sebab di dalam salah satu prasastinya yang berangka tahun 118 AD disebut nama senapati sarwajala seorang pejabat (panglima) yang berhubungan dengan tugas-tugas kelautan. Jika tafsiran ini dapat diterima maka ada kemungkinan pulau Sumbawa (termasuk Bima) termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Kadiri atau setidak-tidaknya di bawah pengaruhnya. Dalam sejumlah naskah Jawa kuno seperti Nagarakertagama, Pararaton, Kidung Pamancangah.
Roman Ranggalawe dan Serat Kanda disebutkan sejumlah nama tempat di pulau Sumbawa yang sekaligus menjadi bukti bahwa tempat-tempat tersebut sudah dikenal oleh kerajaan Majapahit atau termasuk wilayah kerajaan Majapahit. Dalam kitah Nagarakertagama yang ditulis Empu Prapanca pada tahun 1365, pupuh 14 :3 dikutip sebagai berikut :
sawetan ikanang tanah jawa muwah ya warnananen ri bali makamukya tan badahulu mwan i lwagajah gurun makamukya sukun I ri taliwang ri dompo sape ri sanghyang api bhima ceram i hutan kadaly apupul
Dari kutipan di atas disebutkan sejumlah nama tempat di pulau Sumbawa yang termasuk wilayah kerajaan Majapahit. yakni Taliwang: Dompo, Sape, Sanghyang api, Seran dan Utan Kadali. Tiga di antaranya yakni Sape (sek: Labuhan Sape). Sanghyang Api (sek: pulau Sanghyang) dan Bhima (sek: Bima) berlokasi di daerah Bima dan merupakan wilayah kerajaan Bima dimasa lampau .
Dalam 72 kitab yang sama disebutkan serangan Majapahit atas Dompo pada tahun 1357 di bawah pimpinan Senapati Nala. dan peristiwa itu disebutkan juga di dalam kitab Pararaton . Berdasarkan uraian Nagarakertagama van Naerssen kemudian beranggapan bahwa
peristiwa tersebut merupakan masa awal zarnan Hindu di pulau Surnbawa. 111 Selain dari naskah-naskah Jawa kuno , keberadaan pengaruh budaya Hindu ditunjang pula oleh sejurnlah data arkeologi, baik yang bernafaskan agama Hindu maupun Budha. Dalam catatan orang-orang asing, terutama orang Belanda disebutkan 4 lokasi sebagai
Tempat penemuan benda-benda arkeologi di Bima:
- Pertama didesa Tato, sekitar 3 pal di sebelah tirnur laut kota Birna. Di sini pernah ditemukan area Trimurti (Mahesamurti) dan area Syiwamahakala . Arca-area tersebut ditemukan di tengah sawah di kampung Salawah dan keberadaan di tempat itu diduga sengaja dibuang oleh sekelompok muslim fanatik yang dalam kronik Bima disebut membuang berhala, pada zaman Sultan Abdullah.
- desa Sila sekitar 6 pal di sebelah baratdaya kota Bima ditemukan lingga yang dipergunakan sebagai nisan kubur di halaman masjid. Menurut van Naerssen penggunaan lingga sebagai nisan kubur merupakan bukti perpaduan antara sisa-sisa pemujaan terhadap roh nenek moyang dengan pemujaan terhadap Syiwa-lingga.
- Yang ketiga adalah Wadu Tunti yakni di kampung Padende; ditempat ini terdapat sebuah batu bersurat dengan tulisan Jawa kuno. Meskipun keberadaan batu bersurat ini telah dilaporkan pada tahun 1910, namun sampai sekarang inskripsinya belum dapat dibaca sehingga isinya belum diketahui. Menurut N.Y . Krom secara paleografis inskripsi itu diperkirakan berasal dari sekitar 1350 sampai 1400 AD. 141 Selain inskripsi pada batu yang sama terdapat pahatan (relief) rnenggarnbarkan ernpat orang tokoh bergaya wayang dan salah satu di antaranya (tokoh yang paling besar) diduga sebagai dewa Syiwa. Dengan bukti itu van Naerssen akhirnya sarnpai pada suatu sirnpulan bahwa sebelurn berkembangnya agama Islam. antara tahun 1350 sampai 1600 di Bima telah berkembang agama Hindu khususnya aliran Syaiwa. Tempat yang
Lokasi temuan benda-benda purbakala adalah Batu Pahat (Watu Paa). Situs ini terletak di tepi pantai teluk Bi ma, sekitar satu jam pelayaran dengan motor tempel ke arah utara dari pelabuhan Bima. Secara adrninistratif Batu Pahat termasuk wilayah desa Kananta. kecamatan Donggo, kabupaten Bima. yang menarik di tempat ini ialah adanya sejurnlah peninggalan purbakala yang berlatar belakang agama Hindu (lingga, area Ganesa dan Agastya) berdampingan dengan peninggalan yang bernafaskan agama Bud ha ( stupa dan area Budha). Benda-benda tersebut dipahatkan pada ceruk batu karang dalam bentuk relief tinggi (hout relief) Adanya benda-benda purbakala yang memiliki latar belakang agama yang berlainan yang ditempatkan dalam satu kesatuan ruang mengundang pertanyaan apakah hat itu merupakan gambaran sinkritisme agama di masa lampau.
Di Lombok diperkirakan agama Budha Mahayana telah berkembang pada rnasa Borobudur sekitar abad ke-8 atau 9. Dugaan itu didasarkan pada temuan em pat buah area Budha dari perunggu bergaya Borobudur pada tahun 1960 di Lombok Timur.
Demikian pula di Bali, agama Budha diperkirakan telah dianut sejak abad ke-8 , didasarkan pada penemuan stupa-stupa tanah liat yang di dalamnya terdapat meterai-meterai yang bertuliskan mantera-mantera agama Budha. lsi mantera-mantera yang tertulis pada metera-metera itu sama dengan mantera-mantera yang dipahatkan pada candi Kalasan dari tahun 778AD.
Selain relief-relief area yang diuraikan di atas, di situs Batu Pahat terdapat inskripsi Jawa kuno yang dipahatkan pada salah satu ceruknya yang hingga sekarang belum dapat dibaca karena selain ada retakan pada batunya, juga ada coretan cat yang dapat mengganggu. Tetapi menurut Buchari secara paleografis inskripsi itu diperkirakan dari abad ke-6 - 7
sayang sekali isi dari prasasti ini belum dapat diungkapkan padahal ada kemungkinan isinya dapat menjelaskan keberadaan relief-relief Budha dan stupa yang ditempatkan berdampingan dengan relief-relief Ganesa atau Agastya. Pertanggalan inskripsi tersebut mungkin satu-satunya petunjuk yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan umur situs Batu Pahat.
Petunjuk lain yang dapat dikemukakan adalah data toponim, yaitu nama kampung yang letaknya berdekatan paling dekat dengan situs Batu Pahat yaitu kampung Sowa. Menurut Soekmono, nama Sowa mungkin dapat dihubungkan dengan nama tempat Suwal yang disebut dalam prasasti Blanjong Sanur dari tahun 913 AD yang dikeluarkan oleh raja Kesari Warmadewa.
Jika tafsiran ini dapat dibenarkan maka ada kemungkinan raja Kesari Warmadewa telah meluaskan pengaruhnya (kekuasaan) sampai di Lombok dan Sumbawa sebab dalam prasasti Blanjong Sanur disebutkan bahwa Sri Kesari Warmadewa telah mengalahkan musuh-musuhnya di Gurun dan Suwat.
Jika demikian halnya maka pengaruh Hindu yang berkembang di daerah Bima dan sekitarnya tidak hanya dari Jawa seperti yang diperkirakan sebelumnya, tetapi juga dari Bali mengingat pulau Sumbawa berada dalam satu kawasan yang sating berdekatan.
Hubungan pulau Sumbawa (Sambawa) dengan pulau Bali disebutkan juga dalam sumber sastra, yaitu Kidung Pamancangah.
Dalam kidung tersebut disebutkan bahwa Pasung Girih, raja Bedahulu mengirim ekspedisi ke Sambhawa yang pada waktu itu diperintah oleh Dedelanatha. Bahkan dibagian lain dari kidung ini menyebutkan bahwa cucu perempuan Mpu Kapakisan, seorang Brahmana dari Jawa kawin dengan seorang dari Sambhawa.
Sumber lain menyebutkan bahwa ketika raja Batu Renggong memerintah di Kerajaan Geigel dengan ibukotanya di Samprangan (Gianyar) pulau Bali tidak lagi menjadi kekuasaan raja Jawa (Majapahit) tetapi merupakan kerajaan yang berdiri sendiri. Batu Renggong tidak hanya memerintah seluruh Bali, tetapi sampai di Sasak (Lombok), Sumbawa serta seluruh Balambang sampai Puger (Lumajang).
Apakah Sambhawa, (Sumbawa) identik dengan Pulau Sumbawa yang tentunya termasuk di dalamnya Bima, ataukah hanya Sumbawa bagian barat yang sekarang menjadi wilayah kebupaten Sumbawa masih menjadi persoalan. Namun dari uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa pengaruh budaya Hindu di pulau Sumbawa datang (dibawa) dari Jawa dan Bali, baik melalui jalur politik (dominasi politik) maupun dibawa oleh para brahmana (pendeta). Kalau van Naerssen memperkirakan masa awal berkembangnya budaya Hindu di daerah Bima dan sekitamya sejak pertengahan abad ke-14 maka dengan di tentukannya pertanggalan relatif prasasti Batu Pahat kurun waktu itu dapat ditarik sekitar 5 atau 6 abad ke belakang yaitu sekitar abad ke-8 atau abad ke-9 masehi, meskipun pada waktu itu di Bima belum ada suatu kerajaan. Masa ini berakhir atau dianggap berakhir dengan berkembangnya agama Islam yang menurut Noorduyn dibawa oleh orang-orang Makassar pada awal abad ke-17. Menurut sumber lokal yang kemudian dikutip oleh Braam Morris, selama keberadaan kerajaan atau kesultanan Bi ma telah memerintah 49 raja/sultan, 3 7 di antaranya pada kurun waktu sebelum Islam.c•i Sedangkan menurut Rouffaer yang dikutip oleh Moorduyn hanya ada 26 raja/ sultan, dan 14 di antaranya berkuasa pada kurun waktu sebelum
Islam, dimulai dari Maharaja Sang Bima sampai dengan Rumata Manuru Sarei.
