Perang Sori Utu 1942
Latar Belakang Kekecewaan Rakyat
Semangat pergerakan nasional telah menyebar ke Bima, dan memuncak pada awal tahun 1942. Kabar menyerahnya Pemerintah Hindia Belanda kepada Jepang pada 8 Maret 1942 membangkitkan kesadaran rakyat bahwa penjajah Eropa dapat dikalahkan.
Rakyat Bima telah lama menderita di bawah tekanan dan campur tangan Belanda. Penghisapan ekonomi melalui berbagai pajak—seperti pajak jalan, pajak tanah, dan pajak hasil bumi—yang dipungut secara sewenang-wenang telah menyengsarakan rakyat. Kekecewaan ini dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, termasuk Sri Sultan Bima sendiri. Benih dendam dari perang-perang sebelumnya, seperti Perang Ngali, Dena, dan Kala, semakin tumbuh.
Dalam suasana tegang ini, sebuah insiden kecil sudah cukup untuk menyulut api pemberontakan.
Insiden Pemicu di Pelabuhan Bima
Insiden itu terjadi pada 30 April 1942. Dua orang penerbang Belanda tiba di Pelabuhan Bima dari Kendari, berusaha melarikan diri ke Australia. Mereka memaksa sebuah perahu Madura yang sedang berlabuh untuk mengantar mereka. Ketika nakhoda perahu menolak, tentara Belanda itu menembak perahu tersebut hingga berlubang.
Tindakan sewenang-wenang ini memicu amarah para pemimpin rakyat, yang beberapa hari sebelumnya telah membentuk sebuah komite aksi untuk merebut kekuasaan dari tangan Belanda. Kemarahan mereka semakin meluap ketika Pemerintah Belanda yang berkuasa tidak mengambil tindakan apa pun atas insiden tersebut.
Komite Aksi dan Rencana Perebutan Kekuasaan
Komite Aksi ini diprakarsai oleh para pemuda, termasuk dari kepanduan Hisbul Wathan (HW) Muhammadiyah, Pemuda Anshor, dan sejumlah serdadu KNIL yang berpihak pada perjuangan rakyat. Pasukan KNIL ini berjumlah sekitar 14 orang dan dipimpin oleh Aritonang, dengan anggota antara lain Sutawijaya, Sinolon, Simatupang, D. Saria, dan Amir.
Pimpinan sipil (non-militer) berada di tangan Muhammad Wasmir, bersama rekan-rekannya seperti Muhammad Yahya, Hakim Mantabi, Nuhung, Amin, Daeng, Emo, Burhanuddin, Pieter Siun, dan lainnya.
Komite ini merumuskan rencana konkret: merebut kekuasaan dengan menangkap semua pejabat Belanda di Bima, sebisa mungkin menghindari pertumpahan darah. Hari-H ditetapkan pada Minggu, 5 Mei 1942, pukul 07.00, dengan pembagian tugas sebagai berikut:
Pasukan Inti: Dipimpin oleh Aritonang (dibantu Sutawijaya, Pieter Siun, Adhuri, Iskandar, dan Muhammad) untuk mengepung asrama polisi di Raba dan menahan semua orang Belanda.
Pengamanan Komunikasi: Mahmud Qasmir, Nuhung, Sinolon, dan Amir ditugaskan mengamankan sentral telepon Raba dan radio di Kamar Bola.
Pos Penjagaan (Blokade): Untuk mencegah pejabat Belanda melarikan diri, pos-pos dijaga di:
Kumbe (dipimpin Suwondo)
Dorodula (dipimpin M. Yahya)
Padolo (dipimpin Hakim Hantabi)
Jembatan Ranggo (dipimpin Burhanuddin)
Pelaksanaan Kudeta dan Tipu Muslihat Belanda
Pada hari yang ditentukan, perebutan kekuasaan berjalan lancar tanpa pertumpahan darah. Banyak pejabat Belanda berhasil ditangkap, termasuk Controleur Mr. Machman, Agen KPM Karseboom, Agen BPM Bavelaar, Inspektur Polisi Kemper, dan lainnya.
Namun, rencana ini rupanya telah bocor. Beberapa pejabat tinggi Belanda berhasil meloloskan diri, di antaranya Assisten Residen H.E. Haak, Direktur Bank (AVB) Pons, dan Kepala Kehutanan J.W. Ros. Mereka melarikan diri dengan membawa semua uang kas bank.
Setelah kudeta berhasil, daerah Kesultanan Bima untuk sementara bebas dari penjajahan. Komite meminta Sri Sultan Bima, M. Salahuddin, yang saat itu berada di Desa Dodu, untuk kembali memegang tampuk pimpinan penuh di Istana Bima.
Sementara itu, Assisten Residen Haak yang lolos, melancarkan tipu muslihat di Sumbawa. Ia meyakinkan para pejabat di sana bahwa pemuda-pemuda Bima sedang dalam perjalanan untuk menyerang Kesultanan Sumbawa. Kepada Sultan Sumbawa, Haak berbohong bahwa Sultan Bima (yang merupakan mertua Sultan Sumbawa) telah ditangkap dan dipenjara oleh rakyatnya.
Muslihat ini berhasil. Dengan bala bantuan dari Lombok, orang-orang Belanda di Sumbawa segera berangkat menuju Bima. Mereka berdalih hendak "mempertahankan" Sri Sultan Bima dari penjara. Untuk mengelabui rakyat, mereka membawa serta Payung Kerajaan Sumbawa. Pasukan ini dipimpin oleh dua orang penerbang tempur Belanda dan berangkat pada 10 Mei 1942 pukul 04.00.
Pertempuran Sori Utu
Pada saat yang sama, pasukan tempur Bima yang terdiri dari anggota KNIL di bawah pimpinan Aritonang bergerak dari Raba untuk menghadang. Pasukan ini telah mendapat restu penuh dari Sultan M. Salahuddin. Sikap Sultan ini membakar semangat rakyat, sehingga banyak yang bergabung. Tiga truk yang disediakan tidak mampu menampung semua pejuang.
Sekitar pukul 22.00, kedua pasukan bertemu di Jembatan Sori Utu. Pecahlah pertempuran sengit yang kemudian dikenal sebagai "Pertempuran Sori Utu".
Dalam pertempuran ini, dua penerbang Belanda yang memimpin pasukan dari Sumbawa tewas. Di pihak pejuang Bima, seorang gugur sebagai pahlawan, yaitu Idris Hakim, dan seorang lagi (Amin Daeng Emo) luka berat.
Pertempuran berakhir setelah pejuang Bima berhasil menghubungi polisi yang berada di pihak Belanda dan menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Sisa-sisa pejabat Belanda yang belum tertangkap akhirnya meloloskan diri ke Lombok.
Kemenangan Singkat dan Kedatangan Jepang
Para pejuang kembali ke Bima dengan membawa kemenangan. Mereka membawa serta dua jenazah penerbang Belanda dengan truk dan langsung menghadap Sri Sultan Bima untuk melaporkan hasil perjuangan. Rakyat menyambut mereka dengan gegap gempita di sekitar istana. Peristiwa ini membangkitkan kembali martabat dan kepercayaan diri bangsa.
Namun, para pemimpin menyadari bahwa kemenangan ini sulit dipertahankan dalam jangka panjang. Mereka menilai kemampuan fisik yang ada tidak akan sanggup melawan arus kedatangan tentara Jepang, yang saat itu telah menguasai Makassar dan selangkah lagi tiba di Bima.
Apalagi, Jepang datang dengan propaganda "memerdekakan bangsa Asia" dan "Persemakmuran Asia Timur Raya". Ajakan kerja sama mereka disambut gembira di banyak daerah.
Berdasarkan kenyataan ini, Pemerintah Kesultanan Bima memutuskan untuk menyesuaikan diri dengan situasi baru. Utusan pun dikirim untuk menemui pimpinan tentara Jepang di berbagai tempat:
Ke Jawa: A.D. Talu, Nazaruddin, Sudirman, H. Yasin, Hakim Hantabi, dan Pieter Siun.
Ke Makassar: Yusuf Sulaiman, M. Saleh Ntobo, dan A. Wahid Ince Wahe.
Ke Waingapu: M. Sidik, H. Rati, dan Burhanuddin.
Ke Pulau Kelapa (Selat Sape): M. Yahya, M. Ali Matoa, dan Abdurrahim.
Utusan yang ke Jawa akhirnya berhasil pulang kembali bersama tentara Jepang. Mereka mendarat di Bima pada 17 Juli 1942, dipimpin oleh Komandan Pasukan Payung Kolonel Saito. Kedatangan mereka disambut hangat oleh rakyat Bima yang membanjiri halaman istana untuk mendengarkan pidato Kolonel Saito.