USM7uKzrSsmCaVoTHNCgNHTLw5k8mZOpxmzx7nna
Bookmark

LA KAI DAN PRAHARA DI MASA TRANSISI

Pada abad ke-17, Pergulatan Kekuasaan dan Lahirnya Kesultanan Bima adalah masa yang sangat penting dalam sejarah Bima. Periode ini menyebabkan perubahan besar dalam organisasi politik, budaya, agama, dan kenegaraan, yang akhirnya menghasilkan pembentukan Kesultanan Bima. Memulai persaingan takhta oleh seorang individu bernama Salisi, yang juga dikenal sebagai Mantau Asi Peka, menimbulkan momen transformasi yang luar biasa ini. 

 Ambisi Salisi dicapai melalui berbagai taktik politik, salah satunya adalah pembunuhan berencana Raja dan Putra Mahkota, yang merupakan pewaris sah takhta dari garis keturunan Raja Mantau Asi Sawo. Sarise, Sangaji Samara, dan Putra Mahkota yang tewas dibakar hidup-hidup di padang rumput Wera. 

Dalam Kitab BO, peristiwa tragis ini disebut sebagai Ruma Ma Mbora Di Mpori Wera dalam sejarah Bima: Setelah itu berawal mulanya, orang-orang di negeri itu mengatakan mereka ingin mengangkat tuan kita Ma Mbora Di Mpori Wera. Didengar oleh tuan kita Mantau Asi Peka, Bumi Luma Rasanae diberitahu untuk memburu di Mpori Wera. 

Setelah mereka tiba di Mopri Wera, orang banyak disuruh membakar rumput itu, dan pada saat itu Tuan kita (Jena Teke) hilang. Putra Mahkota La Ka'i yang baru berusia sembilan tahun adalah tujuan berikutnya dari tindakan Salisi. Setelah mengetahui ada ancaman, 

Rato Waro Bewi, yang setia pada perang kerajaan, dan beberapa pejabat segera menyelamatkan La Ka'i. La Ka'i kemudian dibawa ke Desa Teke untuk tinggal di pengasingan. Ia dilatih secara menyeluruh dalam taktik perang dan latihan fisik di lokasi ini. Sejak saat itu, setiap Putra Mahkota Bima diberi julukan Jena Teke, yang berarti Putra Mahkota Teke

La Ka'i dibangun di Teke, sebuah desa di timur Palibelo saat ini, bersama sepupunya, Manuru Bata, yang merupakan Putra Mahkota Kerajaan Dompu.
Salisi menjadi sangat marah. Ia bahkan meminta bantuan militer dari Belanda untuk menangkap La Ka'i. Pada tahun 1605, Salisi dan perwakilan Belanda Stephen Van Hagen mencapai kesepakatan lisan di Ncake (Cenggu Bima).
 Rato Waro Bewi harus memindahkan La Ka'i ke tempat yang lebih aman, di Dusun Kamina (sekarang Desa Kalodu), karena Teke adalah sasaran utama. 

 Puncak tertinggi di tenggara Bima, Kalodu, kemudian menjadi pusat persembunyian dan pusat pertempuran La Ka'i untuk kembali ke takhta. Islamisasi dan Sumpah "Darah Daging": Pada tahun 1621 M, Jena Teke La Ka'i dan pengikutnya pergi ke Sape untuk bertemu dengan para mubalig dari Sulawesi Selatan yang datang untuk menyebarkan Islam dan menyampaikan pesan dari Raja Gowa dan Tallo. 

 Pada 15 Rabi'ul Awal 1030 H, atau 7 Februari 1621, La Ka'i dan pengikutnya mengikrarkan Dua Kalimat Syahadat di hadapan guru-guru mereka. Sejak dia menjadi muslim,

La Ka'i berganti nama menjadi Abdul Kahir, dan para pengikut setianya,
Bumi Jara Mbojo, berganti nama menjadi Awaluddin,
La Mbilla berganti nama menjadi Jalaluddin, dan
Manuru Bata (Putra Raja Dompu) berganti nama menjadi Sirajuddin. 

 Abdul Kahir segera meminta semua pejabat dan penduduk Bima untuk menjadi Muslim. Sumpah dibuat di atas sebuah batu di Parapi (Bendungan Parapi Sape). Mereka mengiris jari masing-masing dan meminum darah sebagai tanda kesetiaan penuh mereka terhadap ajaran Islam, yang dikenal sebagai Sumpah "Darah Daging". 

 Setelah memeluk Islam, Jena Teke Abdul Kahir kembali ke Kalodu dengan guru-guru dan pengikut dari Sulawesi Selatan beberapa bulan kemudian. Mereka mendirikan sebuah Masjid di sana yang memiliki dua tujuan: tempat untuk beribadah dan tempat untuk kegiatan dakwah. Dusun Kalodu dan Kampo Sigi di sekitar NaE Sape menjadi lokasi baru untuk penyiaran Islam. Ajaran Islam menyebar dengan cepat dari Gunung Kalodu ke seluruh Bima, dan rakyat menyambutnya dengan senang hati. 

 Setelah hal ini terjadi, Salisi dengan bantuan Belanda kembali menyerang pasukan Abdul Kahir. Pengejaran dan pertempuran terjadi mulai dari Kalodu, Sape, hingga mencapai puncaknya di Wera. 

Di Doro Cumpu, Wera, Panglima Perang yang setia, Rato Waro Bewi, tewas dalam pertempuran sengit. Namun, berkat bantuan dan keahlian orang-orang Wera, Abdul Kahir dan rekannya berhasil diselamatkan ke Pulau Sangiang sebelum akhirnya dijemput oleh perahu dari Makassar. 

Perjanjian dengan orang Wera pada galibnya ialah dokumen pangakuan sebagai tanda terima kasih Jena Teke Abdul Kahir Ma Bata Wadu kepada orang Wera atas jasa-jasanya menyelamatkan Jena Teke dalam pengejaran Raja Salisi Rumata Ma Ntau Asi Peka. Kejadian tersebut dicatat

dalam BO, ringkasan transkripsi bebasnya sebagai berikut :

  1. 1. dalam keadaan yang sangat darurat Yang dipertuan kita Jena Teke Ma Bata Wadu menghindarkan diri dari kejaran Bumi Luma RasanaE. Tujuhbelas hari lamanya diperjalanan ; sepuluh hari mengembara di hutan belantara tanpa bekal yang cukup, tujuh hari berkatung-katung dipulau Sangiang
  2. Rato Waro Bewi menghadang gerak maju lasykar Raja Salisi di doro Cumpu untuk memberi kesempatan kepada Yang Dipertuan kita sampai di Wera. Rato Waro Bewi gugur di situ.
  3. Di Wera Yang dipertuan kita dibantu sekelompok orang Wera (20 orang ) dibawah pimpinan seorang bernama La Buri. Mereka sepakat untuk menyediakan 9 buah perahu miliknya untuk menyebarangkan ke pulau Sangiang Sebelum berangkat Yang Dipertuan kita menyatakan untuk mengangkat mereka menjadi, "saudara" atas jasa-jasanya. Seusai menyampaikan pernyataan tersebut rombongan berangkat diseberangkan ke pulau Sangiang.
  4. Di pulau Sangian tidak ada persediaan makanan. Ompu Suka dan kawannya La Siri menyeberang kembali ke Wera dan kembali segera dengan membawa bahan-bahan makanan. Yang Dipertuan kita ber-titah . "`benar-benar engkau membantu dengan hati yang bening danjernih akan daku"
  5. Yang Dipertuan kita memerintahkan kepada La Buri bersama temannyaagar kembali saja ke Wera karena tugasnya selesai. Namun perintah itu ditampik seraya mengatakan: "kami tidak mau melepaskan diri dari naungan dan lingkungan Yang Dipertuan sampai kepada anak cucu*
  6. Pernyataan dalam butir 4 dan 6 menjadi janji antara kedua belah pihak. "'Dan barang siapa yag merubah dan melanggarnya akan mendapat kutukan Tuhan sampai kiamat".
  7. D i pulau Sangiang baru diketahui bahwa sondi (semacam pedang ) pusaka nenek moyang kelupaan di Wera dibawah sebatang pohon asam. Kepada La Sira dan La Mali ditugaskan untuk kembali mencari sondi dan berhasil ditemukan dan dibawa kembali ke pulau Sangiang serta diserahkan Kepada Yang Dipertuan kita. Pohon asam itu diberi nama Mangge Ruma
  8. Ditetapkanlah oleh Yang Dipertuan Kita bahwa orang Wera menjadi Dari Suba ( pasukan pengawal Sultan ) kecuali La Siri karena ia orang Sape.
  9. Tujuh hari lamanya Yang Dipertuan kita berada di pulau Sangiang "menanggung kesukaran yang amat sedih dan kesusahan yang amat pahit dan kelaparan yang tak tertahankan" demikian BO mencatat.
  10. Yang dipertuan kita melanjutkan pelayaran ke Gowa bersama armada Gowa yang bergerak mundur 

Dari transkripsi di atas disimpulkan bahwa

  • Karena ketulusan dan keberanian dalam bertindak pada saat yang amat genting orang Wera diangkat statusnya sebagai anggota keluarga istana Kerajaan Bima.
  • Orang Wera adalah rakyat pertama yang sebenarnya yang menyatakan bernaung dan berlindung pada hawo ro ninu Sultan Abdul Kahir.
  • Orang Wera rakyat terpercaya ditugaskan menjadi Dari Suba yaitu jabatan kelasykaran Kerajaan Bima sebagai pengawal sultan berserta keluarganya, menjadi lasykar Pengawal Kerajaan Bima
  • Ketentuan itu mengikat kepada ke dua belah pihak dan barang siapa yang merubah atau melanggarnya akan mendapatkan kutukan Tuhan sampai hari kiamat.

 Empat serangkai Abdul Kahir, Sirajuddin, Awaluddin, dan Jalaluddin terlibat dalam tiga ekspedisi dan kemenangan Kesultanan di Makassar. Mereka menerima pembinaan khusus dalam taktik perang dan pengembangan ajaran Islam. Persiapan selesai, Sultan Alauddin Makassar mengirimkan pasukan untuk menyerang Salisi. Sejarah Bima memiliki dua ekspedisi awal yang gagal dan mengakibatkan kematian banyak pasukan Makassar. Proses penaklukan baru berhasil pada ekspedisi ketiga pada tahun 1640 M. Putra Mahkota Abdul Kahir berhasil memasuki Istana Bima pada 5 Juli 1640 M, 

Serangan Militer Gowa ke Bima di lakukan bertahap sebanyak 5 kali :

  1. 1618 : Serangan Militer ke I Gowa namun Gowa belum mampu menundukkan Bima, Satu kapal berisi muballigh melayu didrop ke Sape untuk bentuk pasukan jihad dibawah komando Datuk ri Pattimang (Guru Luwu).
  2. 1619 : Serangan Militer ke II Gowa dan kalahlah Bima. Manuru Salisi turun tahta dan diganti oleh Raja Bima Bumi Luma Rasanae Mambora aka Sapaga.
  3. 1626 : Serangan Militer ke III Gowa untuk menempatkan Bata Wadu sebagai Raja Bima. Raja Mambora aka Sapaga dibunuh, hartanya dirampas dan keluarganya dibawa ke Makassar untuk dijadikan budak. Sementara Manuru Salisi juga dicacatkan.
  4. 1632 - 1633 Serangan militer ke IV Gowa, Bata Wadu dan Manuru Bata di Kudeta dan dibuang ke Sangiang, 400 kapal Gowa menyerang Bima selama 5 bulan,
    Kerajaan Bolo diambil alih Gowa, 
    Bumi Jara Sangga yang melakukan kudeta ditangkap dan dibawa ke Makassar,
    sementara Raja Dompu yang mengusir Manuru Bata melarikan diri ke Manggarai Timur dan mendirikan kampung Tonggo tahun 1634 berdasarkan catatan Portugis. Pengaruh Bali atas Bima lepas hingga membuat hubungan Bali dan Gowa memanas.
  5. 1639 Serangan Militer ke V Gowa dan mendudukan Bata Wadu menjadi Sultan Bima pertama. Raja Bima Rumata Salisi Mantau Ili Mandiri (Larantuka) dan Raja Dompu Mantau Kalampa Bou (menantu dari Raja Dompu sebelumnya Ma Waa Tonggo) melarikan diri ke Mata (Sumbawa).


Abdul Kahir di nobatkan sebagai Sultan pertama. Dia diberi gelar Ruma ta Ma Bata Wadu, yang berarti Taunku Yang Bersumpah Di Atas Batu. Pada saat yang sama, Sirajuddin terus mengejar Salisi hingga mencapai Dompu, di mana dia mendirikan Kesultanan Dompu. 

Jalaluddin dimakamkan di Kampung Suntu (kini halaman SDN 3 Bima) setelah diangkat sebagai Perdana Menteri (Ruma Bicara). Berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M, 


Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.
Posting Komentar