Bandar Bima Saksi Hidup Kejayaan Maritim Bima
Sejarah Kejayaan dan Keruntuhan Maritim Kerajaan Bima
Bima dikenal sebagai kerajaan dualistik, memiliki kekuatan besar sebagai pusat agraris (lumbung pangan) sekaligus sebagai bandar maritim (pusat perdagangan laut) yang vital di kawasan Nusantara Timur.
Kebangkitan Agraris dan Maritim (Abad XV)
Kejayaan Kerajaan Bima mulai terukir pada abad ke-15. Pada masa ini, Bima menetapkan kebijakan pembukaan sawah baru secara besar-besaran, yang berhasil menjadikannya lumbung pangan utama di wilayah timur Nusantara.
Di sektor maritim, Armada Laut Pabise Bima memainkan peran sentral. Armada ini tidak hanya melindungi perairan, tetapi juga melakukan ekspansi wilayah dagang hingga ke Manggarai. Posisi strategis Bima di tengah jalur maritim yang melintasi kepulauan Indonesia menjadikannya persinggahan penting bahkan sejak abad ke-10, dan nama daerah ini telah dicatat dalam literatur klasik seperti Kitab Pararaton dan Negarakertagama.
Bima sebagai Bandar Perdagangan Global (Abad XVI-XVII)
Pada abad ke-16 dan ke-17, Pulau Sumbawa, khususnya Bima, telah menjadi bandar niaga yang sangat penting. Ketika bangsa Portugis mulai menjelajahi Nusantara, Bima sudah diakui sebagai pusat perdagangan yang signifikan (Henry Chambert Loir & Siti Maryam R. Salahuddin, BO Sangaji Kai, XV).
Catatan Tome Pires (1513):
Tome Pires, seorang penjelajah Portugis, mencatat kunjungannya ke "Pulau Bima" pada tahun 1513 dalam laporannya Suma Oriental. Meskipun menyebut rajanya sebagai "raja kafir," Pires menyoroti potensi ekonomi Bima:
Komoditas Utama: Bima memiliki banyak perahu, bahan makanan, daging, ikan, asam, kuda, dan budak.
Komoditas Ekspor Andalan: Kayu Sapang (dikenal sebagai Haju Supa dalam bahasa Bima, kini Secang) adalah komoditas potensial yang dibawa ke Maluku dan Malaka untuk dijual ke Tiongkok. Kayu Supa dikenal berkualitas tinggi, tahan air dan panas, serta digunakan untuk pembuatan kursi, tongkat, dan bahan kapal.
Perdagangan: Perdagangan di pulau itu sangat ramai. Pelaut yang berlayar ke Banda dan Maluku selalu singgah untuk membeli berbagai jenis kain.
Mata Uang: Meskipun memiliki sedikit emas, mata uang yang berlaku di Bima adalah mata uang Jawa.
Geografi dan Penduduk: Pires mendeskripsikan penduduknya berkulit hitam dan berambut lurus, serta memiliki banyak dusun, hutan, dan jumlah penduduk yang banyak.
Puncak Kekuatan dan Keruntuhan Otoritas Laut
Pada abad ke-17 hingga ke-19, Bima mencapai puncak kejayaannya sebagai bandar terbesar di timur Nusantara, dengan jangkauan dagang meliputi Manggarai, Alor, dan Solor. Sejarawan Adrian B. Lapian menyebut Bima sebagai bandar terbesar kedua setelah berkoalisi dengan Gowa (Makassar) dan bahkan memiliki undang-undang serta hukum laut yang dikenal sebagai "Bandar Bima."
Antropolog Ernest The Jong Born mencatat bahwa sebelum letusan Gunung Tambora tahun 1815, Sumbawa terkenal dengan produk pertanian dan kehutanan seperti padi, kopi, lada, kayu, dan rusa.
Akhir Kekuatan Maritim (Abad XIX)
Kejayaan Bandar Bima mulai berakhir pada akhir abad ke-19, pada masa pemerintahan Sultan Abdullah (1854–1868).
Penyebab utama keruntuhan maritim Bima adalah intimidasi dan tekanan dari Belanda. Pemerintah kolonial memaksa angkatan laut Bima untuk menyerang para pelaut Bugis, Makassar, Ternate, dan Tidore, yang dianggap Belanda sebagai bajak laut.
Untuk menghindari konflik dengan saudara serumpun dan mencegah angkatan laut Bima dimanfaatkan oleh Belanda, Wazir (Perdana Menteri) Muhammad Yacub mengambil keputusan drastis: Armada Laut Pabise dibubarkan.
Pembubaran ini menyebabkan perwira angkatan laut Bima (dikenal sebagai Amaral Selatan) terpencar, meskipun mereka masih mempertahankan identitas melalui lambang persekutuan berupa bendera oranye dan tawa-tawa. Memasuki abad ke-20, kejayaan maritim Bima benar-benar runtuh. Manggarai lepas dari pangkuan Bima, dan Kerajaan Sanggar bergabung dengan Bima pada tahun 1926.
Monumen Tiang Kasipahu
Untuk mengenang pembubaran armada laut, Sultan Abdulllah dan Ruma Bicara Muhammad Yacub mendirikan monumen Tiang Kasipahu di sebelah selatan Lare Lare Asi Mbojo. Tiang yang terbuat dari kayu Jati Kasipahu dari hutan Tololai Wera (sekarang Ambalawi) ini menjadi simbol berakhirnya otoritas Bima di Laut Flores.
Tiang asli Kasipahu patah pada tahun 2003. Replika tiang tersebut kemudian dibangun oleh Dr. Hj. Siti Maryam Salahuddin menggunakan kayu dari Kecamatan Wawo. Saat ini, monumen tersebut berdiri dalam kondisi yang merana, sesuai dengan namanya, Kasi Pahu.
