Perang Dena
Pemberontakan Dena (Februari 1908)
Beberapa hari setelah Pemberontakan Ngali berhasil dipadamkan, gejolak perlawanan kembali meletus di Bima. Kali ini berpusat di Desa Dena, Kejenelian Belo, pada akhir Februari 1908.
Latar Belakang dan Motif Perlawanan
Motif Pemberontakan Dena serupa dengan yang terjadi di Ngali, mencerminkan frustrasi mendalam rakyat terhadap kebijakan kolonial Belanda:
Penolakan Pajak Tinggi: Rakyat menolak membayar pajak yang mereka anggap terlalu tinggi dan menekan kehidupan ekonomi mereka.
Penolakan Registrasi Penduduk: Rakyat menolak pendaftaran penduduk, yang mereka khawatirkan akan berujung pada pengerahan mereka sebagai kuli atau budak.
Penolakan Tunduk: Adanya keengganan untuk berada di bawah kendali pemerintahan Belanda.
Rakyat Dena, di bawah pimpinan tokoh-tokoh seperti Haji Abrurrahim Abu Sara, Haji Usman Ruma La Beda, dan Haji Abdul Azis Abu La Sarah, menolak setiap perintah Belanda yang disampaikan melalui Sultan Bima. Tindakan ini dianggap oleh Sultan Ibrahim dan Belanda sebagai pemberontakan serius yang merongrong kewibawaan Kesultanan.
Persiapan dan Semangat Fisabilillah
Menyadari Belanda tidak akan segan menjatuhkan hukuman seperti yang dialami Ngali, rakyat Dena mempersiapkan diri dengan membina kesetiakawanan yang kukuh berdasarkan agama. Fanatisme agama dibangkitkan dengan menyerukan perang fisabilillah (perang di jalan Allah).
Dengan keyakinan bahwa mati dalam peperangan melawan orang kafir adalah jaminan surga, tidak ada satu pun pejuang yang gentar. Bagi mereka, menang atau kalah diserahkan sepenuhnya kepada takdir Allah; yang terpenting adalah membela kebenaran dan menuntut keadilan.
Kronologi Militer
Pemerintah Belanda dan Sultan Ibrahim sepakat untuk menyerang Dena. Pada 25 Februari 1908, Gubernur Swart mengirim lima brigade marsose dan marinir dengan kapal "Siboga" menuju Rasanggaro, yang berhasil ditaklukkan pada hari itu juga.
Pertempuran utama pecah keesokan harinya, 26 Februari 1908, saat Belanda menyerang Dena dari arah tenggara melalui Gunung Lebo.
Awal Pertempuran: Pasukan Sabilillah Dena sudah menunggu, meskipun posisi mereka agak jauh dari kedatangan Belanda. Tembakan pertama dari pihak Dena dilakukan oleh Lede Ama Ibu, yang langsung menumbangkan satu korban di pihak Belanda.
Pergeseran Posisi: Tentara Belanda terus maju, mendesak mundur pejuang Dena hingga pertempuran beralih ke tengah Sungai Campa. Rakyat Dena mencoba bertahan dengan berlindung di tebing-tebing dan batu sungai. Di lokasi ini, Lode Oma Ibu tertembak.
Intervensi Alam: Saat perang berlangsung, tiba-tiba terjadi air bah (banjir), yang menewaskan salah seorang pejuang Dena, Duru Anak Hamu, yang hanyut.
Pengejaran: Kedua pasukan menghindarkan diri dari banjir. Belanda mengalihkan penyerangan ke Karia Huu. Namun, Haji Usman Ruma La Beda dan pasukannya telah mundur ke Tolo Sera. Belanda terus mengejar dan pertempuran berlanjut, menimbulkan korban luka di kedua belah pihak.
Kehancuran Dena dan Korban
Tentara Belanda akhirnya berhasil menguasai keadaan, memasuki kampung Dena, dan membakar rumah-rumah penduduk.
Pengeksekusian Massal (Haji Abdurrahim): Dalam gerakan pembersihan, Belanda mendatangi rumah Haji Abdurrahim yang dijadikan pusat pertahanan. Di sana, mereka menembak mati Haji Abdurrahim beserta 28 orang laki-laki dan perempuan yang berlindung.
Markas Kedua (Ompu Anco): Pasukan Belanda bergerak ke markas kedua di sebelah utara masjid, milik Ompu Anco, seorang tokoh yang dikenal kebal. Meskipun tidak terluka oleh peluru, Ompu Anco meminta ampun agar pasukan Belanda tidak menembak orang-orang yang bersembunyi. Permintaannya diabaikan; Belanda menembaki rumah itu, menyebabkan 18 orang di dalamnya tewas.
Seluruh rumah di Kampung Dena dibakar. Perang Dena dinyatakan selesai pada hari itu juga.
Penawanan dan Hukuman
Setelah pertempuran, Haji Usman Ruma La Beda beserta berpuluh-puluh pengikutnya tertawan. Rakyat yang berhasil lolos mengungsi ke Oi Wulu.
Tiga pemimpin Dena yang masih hidup dan tidak melarikan diri, yaitu Haji Usman Ruma La Beda, Haji Mustafa Abu La Hawa, dan Haji Abdullah Azis Abu La Shaleh, ditangkap dan ditawan di Wadu Bura, Sori Dena. Setelah diadili, mereka dikenakan hukuman:
Membayar kerugian perang sebanyak seratus ringgit (mata uang perak).
Membuat pernyataan taat untuk menerima registrasi penduduk.