JEJAK POLITIK KESULTANAN DOMPU ABAD 19
Naskah ini menguraikan masa-masa penuh gejolak di Kesultanan Dompu, di mana krisis politik internal dan bencana alam berdampak signifikan pada stabilitas kerajaan.
Krisis Suksesi dan Gejolak Politik Internal (1793–1805)
Awal abad ke-19 di Dompu ditandai dengan perebutan takhta yang meneror politik dalam negeri, menyebabkan kondisi wilayah menjadi sangat tidak kondusif.
Siklus Takhta Cepat: Sultan Daeng Pabeta berkuasa sebentar pada tahun 1798, menggantikan ayahnya, Sultan Abdurahman. Keturunan Sultan Abdul Wahab memprotes Abdurahman yang naik takhta dua kali, menggantikan Abdul Wahab pada tahun 1793.
Pemberontakan Daeng Ilauh: Pemberontakan besar terjadi dipimpin oleh Daeng Ilauh (Muhammad Zainal Abidin), putra dari Daeng Pabeta.
Waktu Pemberontakan: Meskipun beberapa catatan menyebut tahun 1803, penulis berkesimpulan pemberontakan terjadi pada tahun 1798.
Tujuan: Menggulingkan Sultan Abdullah I, saudara Daeng Pabeta, yang dinilai lemah dan tidak sah oleh Daeng Ilauh dan ahli waris Daeng Pabeta.
Kekuasaan Daeng Ilauh: Daeng Ilauh berhasil menggulingkan Sultan Abdullah I dan berkuasa dari 1799 hingga 1805. Ia digambarkan oleh Asisten Resident Vermeulen sebagai pribadi yang sopan santun dan sangat pemberani.
Akhir Konflik: Daeng Ilauh turun takhta dan dibuang pada tahun 1805, digantikan oleh Sultan Muhammad Tajul Arifin I, putra Sultan Abdul Wahab, yang merasa lebih sah menduduki takhta.
Dampak Katastrofik Letusan Tambora (1815)
Setelah gejolak politik mereda, Dompu dihadapkan pada bencana alam dahsyat.
Bencana Alam: Pada tahun 1815, Pulau Sumbawa dilanda letusan Gunung Tambora.
Krisis Ekonomi dan Kemanusiaan: Dompu mengalami kesulitan ekonomi yang parah karena ladang dan sawah tidak bisa ditanami lagi.
Surat dari Letnan Owen Philips (diutus oleh Gubernur Thomas Stamford Raffles) menggambarkan keadaan Dompu yang mengenaskan, di mana penduduk mencari makan dari berbagai jenis palma, batang pepaya, dan batang pisang.
Kepemimpinan Masa Sulit dan Pemulihan
Sultan Abdurrasul (1809–1857): Berkuasa menggantikan saudaranya (Sultan Muhammad Tajul Arifin I).
Gelar Bata Bou: Akibat kehancuran, Sultan Abdurrasul memindahkan istana dari Bata ke istana Bata Bou, sehingga ia mendapat gelar dari rakyatnya.
Masa Kegemilangan: Sultan Muhammad Salahuddin (Naik Tahta 1857):
Berhasil mengatasi bencana kelaparan.
Memperbaiki sistem dan hukum pemerintahan Dompu.
Memperbaiki hubungan diplomatik, dikutip oleh Heinrich Zolinger: "Dompu adalah kawan yang paling setia diseluruh Pulau Sumbawa, tidak ada perselisihan seperti di Bima selalu menunjukkan jasa-jasa baik.”
Akhir Abad ke-19 dan Perubahan Hukum
Sultan Abdullah II (Naik Tahta 1870): Berkuasa hingga 1882, namun dinilai lebih mementingkan diri sendiri dibandingkan ayahnya.
Sultan Muhammad Sirajuddin (Naik Tahta 1882):
Melakukan reformasi hukum dengan mendasarkannya pada agama Islam.
Memperbaharui kontrak dengan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905.
.jpeg)