Perang di Sumbawa

(Ustad Suryo)
Sejak penggulingan Karaeng Bontowa dari tampuk kekuasaan, Sumbawa mengalami perang besar selama 18 tahun. Karaeng Bontowa adalah Sultanah Sumbawa, ia merupakan putri dari Amas Madina yang gugur di Selaparang dalam upaya perebutan kembali wilayah Selaparang dari kekuasaan kerajaan Bali. Ia menjadi Raja Sumbawa pada tahun 1759 menggantikan raja Sumbawa sebelumnya yang merupakan suaminya sendiri bernama Mappasusung Datu Poro. Karaeng Bontowa dibesarkan dalam lingkungan yang keras, ibunya diceraikan oleh ayahnya ketika ia masih berada di dalam kandungan. Ibunya yang bernama Agangjene kemudian dinikahi oleh Raja Gowa, namun ia menikah dengan orang yang dicatat Belanda sebagai perusuh di Gowa bernama Bontolangkasa. Semasa ia menikah dengan Bontolangkasa ia menuntut kerajaan Gowa agar mengirim ekspedisi ke Selaparang untuk mengangkut tulang belulang Amas Madina ayahnya. Mappasusung Datuporo adalah suami kedua Bontowa setelah dipaksa oleh otoritas Gowa untuk menceraikan Bontolangkasa. Selama menjadi permaisuri, ia terus mendorong suaminya untuk memerangi Kompeni menuntut balas kematian mantan suaminya yang tewas akibat luka diserang Kompeni dan sekutunya. Atas tindakan itu Mappasusung Datu Poro dijatuhkjan sanksi oleh Kompeni karena terhasut istrinya menyerang pos Kompeni.
Sepeninggal suaminya pada tahun 1759, ia diangkat menjadi Raja Sumbawa. Mendapat kesempatan memegang otoritas penuh kekuasaan, bara di dadanya semakin menyala, ia terus mendorong Sumbawa agar berperang merebut kembali Selaparang dan memutus kontrak dengan Kompeni. Namun kekuasaan raja raja di Sumbawa tidaklah absolut, keputusan kerajaan harus disetujui oleh para pembesar Istana. Adalah Hasanuddin Datu Jerewe sebagai pembesar kerajaan kala itu menentang amok dan dendam Karaeng Bontowa. Terlebih karena Datu Jerewe telah menikah dengan putri pembesar Selaparang. Sehingga Datu Jerewe memiliki hubungan persaudaraan yang erat baik dengan para penguasa Bali di Selaparang maupun dengan para penguasa lokal Selaparang. Bagi Datu Jerewe tindakan ceroboh Amas Madina di masa lalu yang ditentang pula oleh para pembesar kerajaan kala itu, telah mengakibatkan lebih dari 1000 orang Sumbawa gugur di Selaparang.
Pertentangan keras antara Karaeng Bontowa dengan para pembesar kerajaan membuatnya jatuh dari singgasana. Ia digulingkan dari tahta terutama oleh Datu Jerewe pada tahun 1762, hanya dalam waktu 3 tahun setelah dinobatkan. Hasanuddin Datu Jerewe kemudian dinobatkan menjadi Raja Sumbawa. Masa pemerintahan Datu Jerewe lebih singkat lagi, hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, ia digulingkan oleh Mele Ropia (Anggawasita) bersama Gusti Mesir Djalaluddin Datu Taliwang. Datu Taliwang diyakinkan bahwa ia berhak menjadi Raja Sumbawa karena ia adalah menantu dari Karaeng Bontowa, Raja perempuan yang diguingkan. Maka terjadilah dua raja kembar di Sumbawa yang membelah seluruh bangsawan dan penduduk negeri. Perang tercatat terjadi di mana mana, di Kolong dan Maronge, Kastil Rooterdam mencatat mayat tergeletak memenuhi lapangan hingga taka da tempat tersisa. Demikian di labu kuris dan tempat lainnya di bagian timur. Sementara di bagian barat Alas dan Mapin menjadi pusat konsentrasi Datu Jerewe sementara Datu Taliwang menguasai Taliwan Utan dan Rhee.
Datu Taliwang berhasil merekrut Residen Tinne otoritas tertinggi VOC di Pulau Sumbawa untuk ikut berkoalisi. Datu Jerewepun jatuh dari tampuk kekuasaan dan dibawa ke Makasar untuk ditahan. Sementara itu Datu Bodi anak dari Datu Jerewe dilarikan ke Surabaya oleh para pengikutnya. Tertinggal Datu Bajing saudara Datu Bodi yang tak henti melakukan perlawanan selama Datu Taliwang menjadi raja. Atas kedekatan dengan orang orang Bali di Selaparang maka Datu Jerewe menarik mereka masuk dalam gelanggang. Di samping itu Bali memang menunggu kesempatan untuk menyerang Sumbawa akibat ulah Melle Ropia dan datu Taliwang yang merompak kapal Raja Bali dan mencuri istri dari Gusti Ngurah.
Bali pun mengirimkan 12 ribu pasukan untuk menyapu Taliwang. Dalam peristiwa tersebut Melle Ropia atau di Sumbawa disebut dengan nama Anggawasita gugur. Sementara itu Nene Ranga yang merupakan mertua dari Melle Ropia salah satu pendukung setia Datu Jerewe terdesak dan lari ke Hutan. Di Hutan ia di kejar oleh Mekal Samede, orang yang kelak di tahun 1791 terlibat dalam prahara pemilihan Ranga Sumbawa di era Sultanah Safiatuddin, berhasil membunuh Nene Ranga.
Situasi di Sumbawa terus berkecamuk dalam perang melawan Bali, di pihak Bali tercatat tokoh-tokoh bernama Datu Gunung, Wayan tangah, Wayan Tangkasa dll berhasil menguasai bagian barat Sumbawa. Meski demikian kekuasaan Datu Taliwang masih sangat kuat menghadapi orang Bali setelah mendapatkan support penuh dari Dompu.
Di Benteng Retterdam makasar, huru hara di Sumbawa telah mengakibatkan kekacauan jalur perdagangan. Maka Gubernur Singkelar mengundang seluruh raja-Raja yang ada di Pulau Sumbawa untuk membahas resolusi damai di Sumbawa. Atas usulan dari para sekutu Kompeni di Makasar maka dihasilkan sebuah keputusan untuk menobatkan kembali Datu Jerewe sebagai Raja Sumbawa dan segera mengirim ekspedisi besar-besaran ke Sumbawa untuk menggulingkan Datu Taliwang.
Pada tanggal 6 Februari 1675, Datu Jerewe dipanggil oleh Gubernur Sinkelar. Gubernur Sinkelar sangat terenyuh dengan keadaan Datu Jerewe yang diperlakukan sangat tidak manusiawi selama di tahanan, sesuatu yang alpa dari kontrol Gubernur akibat tindakan Residen Tinne. Kepada Datu Jerewe Gubernur Sinkelar bertanya, apakah jika posisinya dikembalikan ke tampuk kekuasaan maka orang-orang Bali akan segera menarik pasukannya dari Sumbawa. Datu Jerewe menjawab, jika kedatangan orang Bali hanya untuk membantu pasukanku di Sumbawa, maka saya menjamin mereka akan segera kembali saat mereka mengetahui kekuasaan saya telah dikembalikan. Namun saya juga tidak bisa menjamin jika ada motif lain dari orang Bali seperti ketika mereka menguasai Selaparang.
Maka pada tanggal 7 Agustus 1675 Datu Jerewe dihadirkan di hadapan persidangan yang dihadiri oleh seluruh raja di Pulau Sumbawa dan raja raja di Sulawesi. Ia pun dikukuhkan kembali sebagai Raja dan deregister secara resmi.
Dalam pertemuan tersebut, Datu Taliwang sebagai Raja Sah Sumbawa kala itu juga diundang, namun ia mengirimkan utusan bahwa situasi di Sumbawa yang sedang berkonflik dengan Bali tidak memungkinkan untuknya datang. Dalam pertemuan tersebut dibacakan surat kuasa perwakilan Datu Taliwang. Namu ada satu orang yang hadir tapi Namanya tidak tercatat dalam surat kuasa. Orang itu bernama Datu Busing. Datu Busing pun, sebagaimana utusan resmi dari Datu Taliwang yang lain yaitu Nene Ranga dan Nene Kalibela menyatakan penolakan terhadap pengesahan Datu Jerewe sebagai raja Sumbawa. walhasil sebuah forum siding resmi yang dihadiri langsung oleh para Raja dibuat gaduh oleh amarah Datu Busing.
Banyaknya pasukan Kompeni karena huru hara terjadi langsung di dalam Benteng Kompeni membuat Datu busing terdesak, ia pun berhasil melarikan diri bersama Nene Ranga Dan kalibela dan membangun pusat konsentrasi di Reede Logeren (Pantai Losari hari ini). Gubernur Sinkelar melihat keberanian Datu Busing yang berhasil memporak porandakan forum rapat resmi sangat marah. Pasukan pun dikirim ke pantai namun kekuatan Datu Busing sangat kuat dan tidak bisa ditembus. Benteng Kompeni mencatat bagaimana Pasukan Datu Busing memiliki senjata ampuh yang dibuat dari bambu.
Sejak pertengahan Februari hingga Maret, Sinkelaar menimbang urutan tindakan dalam menghadapi datu Busing. Datu Busing diketahui adalah orang yang menangkap Datu Jerewe dan mengambil kerisnya ketika terjadi penggulingan kekuasaan. Sinkelarpun kemudian berhasil menyita semua perahu yang digunakan dari Sumbawa. Nene Ranga dan Kalibela — dua figur penting dari barisan Pangeran Taliwang — akhirnya berhasil ia bujuk untuk menyerahkan diri dengan jaminan tidak aka nada tindak kekerasan pada mereka selama mau berdamai dengan datu Jerewe. Demikian dengan Datu Busing telah diupayakan tindakan persuasif dengan mengirim utusan datu Jerewe. Diketahui Datu Busing datang bersama istrinya yang istrinya itu merupakan putri dari datu Jerewe sendiri. Tetapi Datu Busing bersikeras. Informasi intel menyebut ia mengunci diri di rumahnya bersama lebih dari tujuh puluh orang, dilengkapi “rantak, donderbussen, snaphaanen,” mesiu dan timah.
Gubernur masih terus mengupayakan jalan lunak: “dibuat celah besar di sisi laut… sehingga memungkinkan musuh melarikan diri, dan… sebanyak mungkin nyawa dapat diselamatkan.” Namun jelang fajar, pasukan Datu Busing tercium akan segera membakar kota Makasar. Rapat pun memutuskan tindakan terakhir, penyerbuan total. “Sejak pukul setengah sebelas hingga satu siang,” tembak-menembak berkobar; catatan resmi mencatat “kemenangan diraih oleh para sekutu,” dan Datu Busing tewas bersama 14 orang pengikutnya.”. Laporan lapangan awal menyebut pasukan yang bersamanya sekitar tujuh puluh orang sebagiannya menyerah dan sisanya lari ke arah Goa. Dua pemimpin pemberontak salah satunya bernama Bija Kwani yang ditangkap bersama mereka yang menyerah kemudian diserahkan kepada “raja baru terpilih” — Datu Jerewe — dengan rekomendasi agar diperlakukan baik “supaya sisa pengikut terpencar dapat tertarik kembali.”
Ekspedisi terus disiapkan untuk segera menyerang Sumbawa dan membawa kembali datu Jerewe. Konferensi puncak digelar pada tangga 4 Maret. Rencana ekspedisi penegakan pemulihan ditetapkan: gabungan kekuatan pribumi 1.600 yaitu 500 orang dari Bima, 500 orang dari Dompo, 300 orang dari Tambora, 150 orang dari Langa, 150 orang dari Pekat. Mereka diinstruksikan untuk harus berkumpul dalam empat belas hari sampai satu bulan di muara Pekat untuk bergabung dengan chaloup dan Pantjalang Kompeni. Di forum itu, Datu Jerewe “diperkenalkan… mengambil tempat duduknya,” lalu “ikut menyegel dan mengesahkan kontrak baru antara Sumbawa dan kompeni.” Prosesi pengesahan dilakukan dengan persakisan Al-Qur’an dan meminum air kris, di hadapan seorang imam Mahomedaan,” sebelas eksemplar ditandatangani, distempel merah Kompeni, dan didistribusikan kepada raja-raja, istana Bone dan Soas, residen, serta arsip rahasia dan Pemerintahan Tinggi di Batavia. Pada saat yang sama dikabulkan permohonan pengembalian “paket perhiasan emas” kerajaan Sumbawa yang pernah digadaikan di era Sultan Sumbawa Muhammad Kaharuddin pada tahun 1758 dan telah lama akhirnya diserahkan. Melalui pasal 19 kontrak tersebut, Datu Jerewe “menerima… untuk membayar biaya ekspedisi baik yang lama maupun yang sekarang,” dengan kayu sappanhout atau “budak” yang dihitung empat puluh rijksdaalder per orang.
Pasukan ekspedisi militer itupun tiba di Bima, dipimpin oleh residen Bima Jacob Bikkes Bakker dan Jan Hendrik Voll. Namun sebelum berangka ke Sumbawa, Datu Jerewe wafat dan dimakamkan di Bima. Tak terhalang oleh kematian Bakker dan Volls tetap melanjutkan ekspedisi militer untuk menghadapi Datu Taliwang. Di pantai Rhee pasukan ini Bersatu dengan pasukan Datu Bajing, Daeng Maccara (putra Nene Ranga tua), Datu Gunung Satombong, Wayan Tangah dan Wayan Tangkasa. Posisi Datu Taliwang diketahui berada di Utan.
Di pesisir Pantai Alas, direncakan penyerangan terhadap Utan, Datu Gunung diminta agar terlebih dahulu menyerang Utan untuk melihat kapasitas kekuatan Datu Taliwang. Namu Datu Gunung menolak dengan alasan mereka sudah lebih lama di sini melakukan penyerangan, kesuksesan hanya bisa dilakukan dengan melakukan serangan bersama. Maka 8 Agustus serangan besar-besaran dilakukan, ledakan Meriam saling berbalas namun berakhir dengan kekalahan. Pasukan Datu Taliwang yang diperkuat oleh orang-orang Bajo masih jauh di atas angin melawan pasukan sekutu. Kekalahan tersebut melahirkan kemarahan di pihak kompeni yang banyak kehilangan serdadu eropa. Bakker menyalahkan Datu Gunung yang ternyata dalam pertempuran tersebut ia tidak menurunkan pasukan sama sekali.
Kerugian besar tersebut membuat Gubernur Sinkelar di Kastil Rotterdam berbalik arah dengan memerintahkan resolusi damai dengan Datu Taliwang. Situasi di mana Datu Jerewe telah wafat membuat Kompeni tidak punya pilihan untuk menjaga situasi damai di Sumbawa demi kembali tertibnya jalur perdagangan di Kawasan yaitu mengakui kebasahan Datu Taliwang sebagai Raja Sumbawa. pertemuan pun dilakukan dengan menghadirkan semua pihak yang berkonflik. Pasukan pendukung Datu Jerewe akhirnya menerima dan semuanya menyerahkan Kris mereka. Hanya saja mereka mengatakan bahwa Datu Bajing tidak bisa hadir karena sakit. Setelah damai Kris mereka pun dikembalikan dan menyepakati satu resolusi bersama untuk mengusir pasukan orang Bali dari Sumbawa. peristiwa malam itu sempat sedikit tegang karena pihak Sumbawa menanyakan kepada Bakker dan Volls peristiwa kematian Datu Busing di Makasar. Volls pun berjanji akan menyerahkan laporan tertulis atas memori kematian Datu Busing dari Kastil Rotterdam.
Dengan demikian situasi di Sumbawa untuk sementara aman. Namun tak berselang lama Datu Taliwang pun wafat. Datu Taliwang memerintah hanya dalam waktu singkat, hanya dalam waktu 3 tahun (1763-1766) dan sepenuhnya dalam keadaan perang. Sepeninggal Datu Taliwang maka diangkatlah putranya bernama Muhammad Mustafa atau dikenal dengan nama Mappaconga sebagai Raja Sumbawa. Pengangkatan Mappaconga Mustafa yang baru berusia 10 tahun ini kembali melahirkan konflik karena para pengikut Datu Jerewe menolak. Ketegangan antar dua kubu kembali melahirkan perang saudara berkepanjangan. Usia Mappaconga yang baru 10 tahun membuat Nene Ranga, Kalibela, Dipati dan Tomilalang mengendalikan sepenuhnya pemerintahan.
Menggapi perang yang kembali berkecamuk, Jan Hendrik Voll kembali turun tangan dan mempertemukan semua pihak yang berseteru, maka pada tanggal 18 Mei tahun 1766 dilakukan akta damai antara pihak istana dengan para keturunanan datu jerewe, Demong Alas, Demong mapin, dan Demong Buer dengan catatan semua mereka diberikan pengampunan.
Mappaconga Mustafa memerintah Sumbawa selama 18 tahun di bawah wali para Menteri telu. Dalam catatan di Kastil Rotterdam, meski masih berusia belia Mappoconga dicatat sebagai seorang pembenci Kompeni. Hal tersebut menjadi catatan khusus di Kastil atas peristiwa permintaan resmi dari Kastik sebagai konsekwensi kontrak agar Sumbawa mengirimkan pasukan ke Buton. Namun Mappconga menolak permintaan tersebut. Di masanya perdagangan dengan inggris terus dilakukan, sesuatu melanggar kontrak dengan Kompeni.
Pada 11 Juli 1780 Mappaconga Mustafa wafat di usia 24 tahun. Ia meninggalkan seorang anak bernama Lalu Muhammad. Muhammad bergelar Lalu bukan Datu seperti umunya para keturunan Raja Sumbawa, diakibatkan oleh kelahirannya yang dalam catatan Sumbawa disebut lahir di luar nikah. Situasi ini menjadi angin segar bagi kubu Datu Jerewe untuk mengembalikan tampuk tahta kekuasaan Sumbawa ke trah mereka. terjadi ketegangan keras antara dua kubu untuk menentukan pewaris tahta, di satu sisi kubu Datu Taliwang di masa lalu mendorong Lalu Muhammad yang merupakan putra Raja yang wafat, dan di kubu Datu Jerwe mendorong Datu Bodi putra Datu Jerewe yang pernah digulingkan. Namun karena terkait isu keabsahan nasab kelahiran yang sangat penting bagi Sumbawa, maka dengan suara bulat Datu Bodi dinobatkan sebagai Sultan.
Datu Bodi dalam berbagai surat diplomatiknya menuliskan Namanya sebagai Mahmud Datu Jerewe. Di catatan Belanda lain ia disebut dengan nama Hasan Rasyid dan juga Harun Alrasyid. Datu Bodi atau Mahmud Datu Jerewe memerintah Sumbawa dari tahun 1780 hingga 1791. Di eranya kubu Datu Taliwang berbalik menjadi oposisi. Saat terjadi pemberontakan Mele Bedola yang membuat Datu Bodi sempat terusir dari Istana, Lalu Muhammad memilih diam sembari orang-orangnya seperti Mekal Samede justru memberi bantuan kepada Mele Bedola. Held yang melakukan penelitian atas peristiwa tersebut menyebut bahwa Lalu Muhammad sengaja membiarkan Datu Bodi jatuh agar kekuasaan dapat ia teruskan.
Datu Bodi wafat pada 9 Juli 1791 meninggalkan dua orang putri hasil dari pernikahannya dengan janda Melle Ropia bernama Datu Dara dan Sagiri. Kembali terjadi ketegangan dalam suksesi pemerintahan di masa ini. Kubu Datu Taliwang mulai menghembuskan tentang kepemimpinan perempuan dalam Kerajaan Islam. Namun kubu Datu Jerewe sangat kuat terutama karena diback up oleh Nene Ranga, orang yang ketika Mappoconga wafat mencegah Lalu Muhammad menjadi pewaris tahta. Dengan cepat Nene Ranga Mele Senjata bersama para pembesar kerajaan membuat keputusan pengangkatan Datu Dara yang bergelar Safiatuddin sebagai Raja Sumbawa. tindakan cepat itu melahirkan protes dari Batavua dan Retterdam karena dilakukan tanpa konsultasi. Tak berselang lama pada 30 Julu 1791 Nene Ranga pun wafat setelah sukses mengangkat trah Datu Jerewe sebagai pewaris tahta.
Wafatnya Nene Ranga membuat suksesi penetapan Raja menjadi terabaikan karena masuk dalam konflik perebutan posisi Ranga. Secara adat dan hukum Sumbawa kubu Datu Taliwang adalah yang paling sah memegang tampuk keuasaan Ranga. Batavia mengingatkan hal tersebut dan memerintahkan Residen Corneis Meur untuk mengantisipasi agar keturunan Mele Ropia tidak mengambil posisi Ranga karena akan berakibat pada kembali menguatnya faksi lama. Namun karena tidak ada pilihan maka diangkatlah Mele Ringgi sebagai Ranga, ia adalah putra dari Mele Ropia yang merupakan saudara seibu beda bapak dengan Safiatuddin.
Pemerintahan Safiatuddin tidak stabil karena ia sendiri lebih banyak berada di Bima menjadi permaisuri Sultan Bima. Mele Ringgi melalui berbagai suratnya ke Residen Bima dan Kastil Rotterdam terus mendorong agar Safiatuddin dijatuhkan dari tahta. Mele Ringgi menyebut situasi Sumbawa semakin terpuruk dalam posisi tidak ada raja yang berdiam di Sumbawa. konflik pun mencuat yang berakhir pada penggulingan kekuasaan Sultanah Safiatuddin sebagai Raja Sumbawa. karena posisi pembesar kekuasaan sepenuhnya dikuasai oleh kubu Datu Taliwang maka dengan mudah mereka segera mengangkat Lalu Muhammad sebagai Raja Sumbawa dengan gelar Sultan Muhammad Kaharuddin II. Ia memerintah sejak tahun 1795 hingga wafat pada tahun 1816 akibat wabah penyakit pasca letusan Tambora. Di eranya faksi antara dua trah Datu Taliwang dan Datu Jerewe atau jika ditarik ke atas antara ketunan du bersaudara anak Mas Bantan yaitu Mas Madina Dan Dewa Ya berhenti total.
Sepeninggal Lalu Muhammad pada tahun 1816 Sumbawa mengalami fakum kekuasaan karena meninggalkan anak yang masih kecil. Namun dalam catatan Kastil Rotterdam pernah dipertanyakan kenapa tidak segera mengangkat Lalu Mesir putra Sultan karena umurnya sudah cukup dewasa uantuk memegang tahta. Namun hingga tahun 1837 tahta kekuasaan Sumbawa dipegang sementara oleh Ranga. Pada tahun 1837 Lalu Mesir pun dinobatlan sebagai Sultan namun wafat di tahun yang sama. Posisinya diganti oleh saudaranya bernama Lalu Amrullah dan menjabat hingga tahun 1883. Pada tahun 1883 setelah beiau wafat posisinya diganti oleh cucunya bernama Mas Madina hingga tahun 1931. Sepeninggal Mas Madina tampuk kekuasaan Sumbawa dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Daeng Manurung hingga berakhirnya era kerajaan pada tahun 1958.